Sebuah surat pastoral kembali muncul dari Dewan Gereja Papua, terdiri dari Pdt. Benny Giyai, Moderator DGP, Pdt. Andrikus Mofu, Pdt. Socrates Sofyan Yoman dan Pdt. Dorman Wandikbo. Surat yang bertema seruan moral tersebut diklaim berdasarkan pada ayat firman Tuhan dari kitab injil secara umum menyoroti kondisi wilayah Papua yang dirasa masih diselimuti situasi duka seperti tahun-tahun sebelumnya. Kebijakan pemekaran daerah yang sedang dijalankan pemerintah disebut sebagai upaya mempercepat pemusnahan orang Papua serta upaya mempermudah eksploitasi sumber daya alam Papua.
Dalam keterangannya Pdt Benny Giyai menyatakan bahwa terdapat trend peningkatan jumlah migrasi orang Indonesia masuk di tanah Papua. Data tersebut didasarkan pada hasil resmi laporan dan analisis BPS selama 59 tahun terakhir dimana dari waktu ke waktu orang Papua semakin tersisih dan termajinalkan di atas tanah mereka sendiri.
Disebutkan juga oleh Pdt Socrates Sofyan Yoman bahwa Kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo selama berjalan hingga tengah period ke-2 telah menggalang berbagai program pembangunan di tanah Papua sebagai siasat penguasaan tanah Papua. Pembentukan Provinsi dan kabupaten baru merupakan satu kesatuan dari politik pendudukan dan penguasaan tanah Papua.
Pendeta adalah penggembala bukan pengadu domba umat
Mencermati seruan yang muncul dari para pendeta tersebut, nampaknya telah terjadi politik praktis yang menyusup dalam ranah ideologi dan agama demi kepentingan tertentu. Melalui dalil dasar dari ayat-ayat di kitab injil, mencoba memainkan perbedaan perspektif yang terkandung untuk menyerang pemerintah dengan alasan kemanusiaan, padahal banyak fakta positif yang sengaja tidak dimunculkan namun justru mengedepankan kalimat bernada sentimen negatif yang provokatif. Sederet narasi yang melatarbelakangi justru berpotensi menjebak umatnya untuk membenci pemerintah sebagai representasi pemimpin dalam lingkup dunia. Sensifitas Papua secara sosiologi sengaja dimainkan tanpa memikirkan dampak dan reaksi yang bakal bermunculan. Untuk diketahui bahwa dari sekian konflik yang pernah terjadi di wilayah Papua, salah satu penyebabnya berawal dari adanya kalimat dan tulisan provokatif yang tersebar di media.
Secara fakta di lapangan, pernyataan sejumlah pendeta yang menamakan Dewan Gereja Papua tersebut juga bertolak belakang dengan sejumlah pernyataan dari para tokoh agama di Papua yang secara tegas memiliki fokus untuk turut memajukan Papua melalui pendekatan persuasif dan mengutamakan kedamaian.
Dalam rangkaian peringatan Hari Perkabaran Injil (HPI) ke-167, Persekutuan Gereja-Gereja dan Lembaga-lembaga Injil Indonesia (PGLII), Wahana Visi Indonesia (WVI), dan Pesekutuan Gereja-gereja di Papua (PGGP) telah menggelar lokakarya membangun paradigma inklusif dalam rangka menyaring konsep rekomendasi kebijakan yang akan dijalankan gereja-gereja di Papua dan Papua Barat.
Pdt M.P.A. Mauri, S.Th, selaku Wakil Ketua Panita HPI/ Ketua II PGGP menyampaikan bahwa “Ciptaan Tuhan beragam (berbhineka tunggal ika) dan harus menghormati dan hidup bersama dalam kerukunan,”. Ia juga berharap dapat memberikan solusi bagi perdamaian Papua dengan pelibatan gereja dalam pembangunan dan rekonsiliasi di tingkat akar rumput.
Sementara itu, Ketua Forum Masyarakat Tabi Bangkit Pendeta Albert Yoku, S.Th., M.Th., selalu tokoh agama di Provinsi Papua menilai bahwa tujuan daripada pemekaran untuk mempercepat pembangunan dan juga mendatangkan kesejahteraan untuk kemajuan di segala aspek. Hal tersebut menjadi dasar dirinya memberikan dukungan. Sebab itu, selaku tokoh agama terus mendorong dan mendukung realisasi dari pemerintah tentang rencana pemekaran daerah Otonomi baru di Provinsi Papua.
Bentuk dukungan lain juga dipaparkan oleh Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Port Numbay, George Awi bahwa tidak ada alasan untuk menolak pembentukan DOB. Sebab, DOB akan berdampak bagi kesejahteraan, keadilan dan pemerataan pembangunan di semua sektor. Hal Senada juga disampaikan Ketua Wilayah Gereja Kriste Nazarene di Tanah Papua, Pdt. George Sorontouw, M.Th., yang mengatakan sangat mendukung adanya pemekaran provinsi, karena pasti akan ada banyak manfaat dan mendorong kita semua untuk bekerja.
Adanya dukungan dari sejumlah tokoh adat serta para tokoh agama dalam bentuk argumentasi persuasif dan konstruktif, terutama dalam penyelesaian masalah Papua secara martabat melalui rekonsiliasi menjadi hal yang patut diapresiasi. Tugas seorang pendeta ialah menggembala umat, mendamaikan setiap permasalahan di Papua dengan hati, bukan silau dengan keduniawian. Seruan yang diklaim moral mengatasnamakan Dewan Gereja Papua dengan narasi destruktif mendiskreditkan pemerintah perlu kita waspadai dan curigai sebagai politik praktis yang didukung pihak-pihak tak bertanggungjawab untuk membuat situasi Papua semakin memanas dan menghambat program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.
Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang diatasnya, sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah. – Roma 13:1