Sebuah penyerangan oleh Kelompok Separatis dan Teroris Papua (KSTP) dilakukan terhadap pos Satgas Mupe TNI AL di Kware Bawah, Kampung Traslala, Kenyam, Nduga Papua pada sabtu sore (26/3) menyebabkan dua prajurit meninggal dan delapan anggota marinir dari Yonif Marinir 3 terluka.
Dikutip dari Antara Jayapura, Danrem 172/PWY Brigjen TNI Izak Pangemanan membenarkan adanya insiden penyerangan tersebut. “Mereka diserang dari berbagai arah hingga menyebabkan jatuhnya 10 korban,” jelasnya. Diperoleh informasi bahwa pelaku penyerangan adalah kelompok Army Kogoya dibawah pimpinan Pangkodap III Ndugama, Egianus Kogoya. Mereka menyerang dari dua arah yakni belakang pasar dan dari arga sungai Alguru.
Merespon hal tersebut, jajaran aparat keamanan dari unsur TNI dan Polri langsung bergerak secara taktis menyusur setiap wilayah di sekitar untuk menangkap keberadaan kelompok Egianus Kogoya.
Menanti Langkah Konkrit Evaluasi Operasi Militer di Papua
Berangkat dari sejumlah peristiwa dan kejadian kontak senjata serta penyerangan yang melibatkan aparat, kelompok separatis, hingga masyarakat sipil dalam beberapa waktu terakhir. Dibutuhkan tindakan konkrit dalam hal evaluasi berkaitan dengan operasi militer yang ada di wilayah Papua. Dalam berbagai lanskip bidang kajian kebijakan dalam negeri, sejumlah pihak juga telah memberikan masukan kepada pemerintah terkait perubahan pola operasi dalam penanganan KST Papua.
Mantan ketua gugus Papua UGM, Alm Bambang Purwoko pernah menyatakan bahwa pendekatan sosial budaya diperlukan untuk menangani KST Papua yang masih menunjukkan eksistensi di sejumlah wilayah. Pendekatan tersebut diperlukan khususnya terhadap kelompok yang memiliki dendam masa lalu terkait dampak dari tindakan operasi TNI-Polri.
Persoalan KSTP perlu diurai secara sinergis antara TNI-Polri dengan pemerintah daerah. Bentuk-bentuk operasi militer seperti yang sekarang terjadi di wilayah rentan konflik, tidak perlu diperluas hingga wilayah kabupaten lain. Ada baiknya jika pimpinan TNI-Polri dapat berkomunikasi dan bekerja sama secara sinergis dengan kepala daerah dalam upaya penyelesaian.
Tindakan kriminal oleh KST di Papua memiliki berbagai ragam motif. Selain balas dendam, tindakan tersebut juga terdorong oleh alasan finansial untuk mendapatkan tebusan atau upaya untuk memperkuat jaringan kelompok mereka dengan membunuh serta merampas senjata dari aparat TNI-Polri. Dari kejadian dan fenomena-fenomena sebelumnya, tak bisa ditampik terdapat kemungkinan bahwa kelompok separatis tersebut juga dapat dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan politik, misalnya akibat kegagalan dalam kontestasi politik di tingkat lokal ataupun kepentingan ekonomi politik dalam pemanfaatan kekayaan sumber daya alam di bumi cenderawasih.
Merujuk pada satu fokus bidang, pembangunan pendidikan menjadi salah satu aspek yang sangat penting untuk disentuh dalam upaya mencegah kemunculan dan perkembangan kelompok separatis bersenjata. Dalam hal ini, perlu dilakukan pendekatan terhadap anak-anak muda yang bersimpati dan bergabung dalam kelompok bersenjata untuk dapat kembali mengenyam bangku sekolah. Menjadi sebuah hal dasar yang harus digarisbawahi bahwa pendidikan yang berkualitas menjadi penting dan tidak boleh diabaikan oleh pemerintah daerah.
Masukan lain juga pernah dinyatakan oleh Akademisi dan peneliti Marapi Advisory & Consulting Bidang Keamanan dan Pertahanan, Beni Sukadis yang menilai bahwa dibutuhkan evaluasi menyeluruh terhadap pendekatan keamanan di Papua. Arah operasi militer di wilayah tersebut tak memiliki target secara rinci. Carut marut pengambilan kebijakan dan pendekatan keamanan yang tak menentu mempengaruhi sikap Prajurit TNI untuk memanfaatkan keadaan. Kebijakan yang tak jelas memicu disorientasi prajurit yang bertugas di lapangan.
Pada akhirnya pemerintah perlu merombak pendekatan untuk meredam kelompok separatis yang hingga kini masih berupaya menunjukkan eksistensinya serta berjuang memerdekakan diri dari Indonesia. Evaluasi kebijakan pengamanan di Papua secara menyeluruh sangat mendesak. Penting dilakukan asesmen ulang dan penilaian terhadap para prajurit yang kini bertugas di bumi Cenderawasih.
Senjata Makan Tuan Bernama Isu HAM
Rentetan tuduhan terhadap pemerintah Indonesia terkait pelanggaran HAM yang terus diamplifikasi oleh kelompok politik dan kelompok klandestin aktivis pergerakan kemerdekaan Papua pada akhirnya runtuh dengan sendirinya akibat berbagai aksi penyerangan dan kebiadaban KST Papua terhadap aparat maupun warga setempat. Upaya dari kelompok tersebut yang didukung oleh ULMWP melalui Benny Wenda dengan jaringannya di luar negeri mendatangkan simpatik dari dewan keamanan PBB untuk mendarat ke Papua dipastikan menemui titik buntu serta menelan pil malu.
Melalui keterangan dari Direktur Hak Asasi Manusia Kementerian Luar Negeri Achsanul Habib menjadi ketegasan bahwa pemerintah tidak menutup-nutupi perihal isu pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dan Papua Barat. Pemerintah telah melayangkan surat ke Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PPB melalui Special Procedures Mandate Holders (SPMH). Surat tersebut terkait klarifikasi dan penjelasan sejumlah pelanggaran HAM yang mungkin terjadi di Papua dan Papua Barat, dimana terdapat lima isu yang menjadi fokus Dewan HAM PBB, yaitu penghilangan paksa, penggunaan kekerasan berlebihan, eksekusi ekstra yudisial, penyiksaan, dan pemindahan paksa.
Jalan Panjang Penyelesaian Konflik Papua Melalui Rekonsiliasi
Di sisi lain, adanya inisiasi dan seruan dari Komnas HAM untuk melalukan dialog damai di Papua pasca kunjungannya ke Kabupaten Jayawijaya, Merauke dan Kota Jayapura pada tanggal 16 hingga 20 Maret 2022 memerlukan tindak lanjut berupa sinergitas dari seluruh pihak terkait. Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik menyebut bahwa kunjungannya ke Papua merupakan tahap awal proses resolusi konflik menyeluruh dan damai di Papua. Dimana isu pokok yang dibicarakan mengenai langkah penghentian kekerasan dan konflik bersenjata, serta isu-isu resolusi konflik yang ingin diajukan kepada Pemerintah Indonesia.
Dalam mewujudkan hal tersebut, upaya dari Komnas HAM seyogyanya harus gayung bersambut dengan rekonsiliasi yang pernah digagas oleh rektor Universitas Cenderawasih, Apolo Safanpo. Menurutnya penyelesaian konflik Papua hanya bisa dilakukan melalui rekonsiliasi yang di dalamnya terdapat unsur pengungkapan kebenaran. Proses rekonsiliasi di Papua harus sesegera mungkin dilakukan terutama di tingkat kabupaten. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat bisa hadir untuk mengawal proses tersebut.
Kondisi saat ini rasa saling curiga antara orang asli Papua dan masyarakat pendatang begitu buruk. Dalam perspektif kelompok separatis dan teroris, masyarakat pendatang merupakan mata-mata aparat keamanan. Sementara di mata aparat, orang hitam yang berambut keriting dianggap kelompok separatis. Hal tersebut menjadi berbahaya karena bisa salah tangkap atau salah tembak. Korban akan terus berjatuhan, sehingga situasi tersebut harus segera diputus. Pemerintah juga harus memikirkan pola kompensasi atau restitusi bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu. Adanya dana otonomi khusus (otsus) Papua bisa diberikan kepada korban pelanggaran HAM sebagai restitusi atau kompensasi bagi keluarga mereka yang menjadi korban.