Hingga kini, selama beberapa tahun terakhir tercatat sudah puluhan kali kelompok separatis dan teroris Papua (KSTP) melakukan penyerangan. Aksi tersebut tak hanya ditujukan kepada aparat TNI/ Polri, namun juga tenaga medis, tenaga pengajar, karyawan PT, hingga masyarakat sipil biasa yang tidak tahu menahu tentang eksistensi hingga tensi permasalahan yang sedang mereka hadapi dan ingin ditunjukkan. Terakhir kelompok separatis tersebut secara brutal menyerang anggota TNI Sertu Eka Andriyanto beserta istri Sri Lestari Indah Putri dan anakya Elvano Putra di ruko distrik Elelim Papua, menyebabkan pasangan suami istri tersebut meninggal dan putranya kehilangan dua jari karena terkena tebasan senjata tajam saat berada dalam gendongan ibunya.
Dalam keterangannya, juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sambom menyatakan bahwa pihaknya bertanggung jawab dalam penyerangan sekolah dan koramil di distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya Papua, Rabu (30/3/2022), termasuk penyerangan terhadap anggota TNI dan keluarganya sebagai aksi pembalasan atas penembakan anggota TPNPB Toni Tabuni di Nabire.
Masifnya pergerakan KST Papua tentu tak terlepas dari adanya dukungan dalam berbagai wujud dan bentuk, termasuk dalam hal ini adanya pasokan senjata dan dukungan materiil untuk merawat eksistensi mereka dalam upaya melepaskan diri dari Indonesia. Berbagai muatan terselip dalam setiap dukungan yang memanfaatkan kelompok tersebut untuk mencapai tujuannya, entah motif ekonomi ataupun politik. Sungguh sebuah perbuatan keji dan biadab yang mempertaruhkan nyawa manusia hanya demi kepentingan tertentu.
Pihak Dibelakang Kelompok Separatis Papua
Pengamat teroris dan intelijen dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya pernah berpendapat terdapat dimensi politis dari setiap pergerakan kelompok separatis. Dari tuntutannya, mereka diindikasikan merupakan kelompok yang disokong beragam komponen. Terdapat orang lokal Papua oportunis dengan kepentingan politiknya, kemudian keberadaan pihak asing terbaca dari setiap gejolak di Papua yang diikuti dengan suara dari beberapa negara. Mereka mendorong bahkan memberi tekanan yang target utamanya adalah lepasnya Papua dari Indonesia.
Diplomat Indonesia Rayannul Sangadji menyatakan bahwa Vanuatu sebagai negara pendukung gerakan separatisme di Papua. Dalam pernyataan Perdana Menteri Vanuatu Chalot Salwi Tabimasma menyinggung dugaan pelanggaraan HAM di Papua. Vanuatu ingin memberikan kesan kepada kita semua bahwa mereka mengkhawatirkan isu HAM, padahal satu-satunya motif dari negara tersebut adalah mendukung agenda separatisme. Hal tersebut terlihat dari beberapa kejadian kontroversial, seperti: munculnya UU Wantok Blong Yumi sebagai pengakuan kemerdekaan Papua dari Indonesia, tempat didirikannya ULMWP hingga menyusupkan Benny Wenda ke PBB.
Hal yang sama juga disampaikan oleh pihak lain, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional-Pemuda Adat Papua (DPN-PAP), Jan Christian Arebo, dalam keterangannya menyatakan bahwa sikap brutal kelompok separatis di Papua karena merasa didukung. Terdapat peran oknum gereja di Papua yang mengatasnamakan Dewan Gereja sampai saat ini terus bersuara mendukung Papua Merdeka. Di Papua juga terdapat aktor, yakni oknum tertentu yang menginginkan Papua tidak kondusif. Kemudian menyebarkan berita-berita melalui media sosial, seolah-olah Papua tidak kondusif dan dimainkan oleh aktor luar negeri seperti Benny Wenda untuk memperjuangkan Papua Merdeka.
Peneliti Senior LIPI, Hermawan Sulistyo menyebut bahwa kelompok separatis Papua memiliki beberapa sumber untuk mendapatkan senjata dan amunisinya. Pertama, melalui pasar gelap internasional terbuka. Kedua, dari pihak tertentu di luar negeri terutama Filipina Selatan. Ketga, dari negara Australia dan Papua New Gunea (PNG) yang sering mengirim senjata untuk para separatis, Terakhir, keempat melalui aksi penyerbuan ke pos TNI dan Polri.
Pengakuan OPM Didukung Pengusaha untuk Beli Senjata
Berdasarkan keterangan dari Humas Satgas Newangkawi (saat ini Operasi Damai Cartenz), Kombes Pol M Iqbal Alqudsi, bahwa sosok orang yang menjadi penyokong dana untuk kelompok separatis adalah Paniel Kogoya. Informasi tersebut didapat dari pengakuan dua penjual senjata api yang mendukung OPM. Paniel Kogoya telah menghabiskan uang lebih dari Rp1 miliar untuk membeli berbagai macam senjata api. Untuk diketahui, Paniel Kogoya merupakan seorang kontraktor. Ia pernah memenangkan pengadaan 1.000 unit solar cel atau PLTS di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Menurut Iqbal, Paniel Kogoya menyuplai senjata api kepada kelompok separatis Papua sejak 2018. Transaksi pembelian senjata dilakukan sejak Desember 2019. Pada akhir tahun tersebut, Paniel Kogoya membeli senjata api jenis M4 senilai Rp300 juta. Ia juga membeli dua pucuk senjata jenis M16 seharga Rp300 juta. Kemudian, pada awal tahun 2020, Paniel Kogoya kembali memesan senjata seharga Rp500 juta. Senjata-senjata tersebut digunakan kelompok separatis Papua untuk melawan militer Indonesia. Dalam melakukan aksinya, Paniel Kogoya dibantu Geis Gwijangge sebagai pemasok senjata, berasal dari narapidana lapas kelas II Nabire, Decky Chandra sebagai penghubung. Paniel Kogoya juga ternyata adalah seorang pendeta Gereja Advent Kali Bobo Nabire.
Gerakan Separatis di Papua Didukung Sejumlah Mahasiswa
Sejumlah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) diindikasi memiliki tendensi untuk mendukung gerakan separatis di Papua. Mantan Kapolda Papua yang saat ini menjabat Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan BNPP, Komjen Pol Paulus Waterpauw menyatakan bahwa Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menggandeng BEM dan aliansi mahasiswa untuk berkolaborasi dalam gerakan separatisme Papua. BEM yang telah terdeteksi mendukung gerakan separatisme di Papua adalah Universitas Cenderawasih (UNCEN), Universitas Papua (UNIPA), Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), serta STT Walter Post Jayapura (STT WP).
“Pergerakan separatisme dilakukan dengan soft approach dan hard approach secara konsisten dengan militansi tinggi,” tegas Paulus.
Selain BEM, KNPB juga mendapatkan dukungan dari kelompok aliansi mahasiswa Papua yang tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. Selanjutnya, gerakan separatisme mereka juga mendapatkan dukungan dari kelompok Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) dan media. Mereka menyebarkan gerakan kemerdekaan Papua dari berbagai platform.
Keterlibatan Pemerintah Daerah Menyokong Dana Kelompok Separatis
Berdasarkan pengembangan dari penangkapan tersangka pemasok senjata kelompok separatis Bernama Ratius Murib alias Neson Murib di tahun 2021, terdapat informasi adanya catatan bantuan uang tunai dari Pemda Puncak senilai Rp600 juta untuk pimpinan kelompok separatis Lekagak Telenggen pada 6 Februari 2021. Selain itu, juga terdapat informasi bahwa tersangka Neson membawa Rp370 juta untuk membeli senjata dan amunisi berasal dari Ketua DPRD Kabupaten Tolikara, Sonny Arson Wanimbo. Diketahui kemudian, bahwa Neson dan Sonny ternyata adalah teman semasa kuliah di Universitas Warmadewa, Denpasar Bali.
Tangkap Pendukung Kelompok Separatis Papua
Director of CISSRec, Dr. Pratama Persadha meyakini bahwa kelompok separatis memiliki pendukung dibelakangnya, termasuk dalam dunia maya. Pergerakan isu yang berkembang di media sosial memiliki perbedaan karakter, yang perlu diperhatikan. Dalam topik Papua, Twitter lebih politis digunakan untuk menarik perhatian netizen simpatisan dalam negeri dan luar negeri. Facebook lebih organik, perlu mendapat perhatian karena berpotensi menggerakkan aksi dan emosional. Sementara, Instagram lebih bicara visual.
Pengamat Intelijen Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib mempertanyakan mengapa orang-orang yang mendukung kelompok separatis Papua tidak ditangkap. Berdasarkan penyelidikan, pendukung kelompok separatis di luar Papua cukup banyak, bahkan ada di hampir semua kota-kota besar melalui kelompok-kelompok mahasiswa Papua. Beberapa dari mereka adalah simpatisan dari Kelompok Separatis dan Teroris, termasuk Veronica Koman.
“Permasalahannya kenapa itu tidak ditangkap, padahal dengan label dia sebagai teroris, maka Pasal 13A Udang-Undang 5 Tahun 2018 bisa digunakan,” kata Ridlwan.
Namun, menurut salah satu staff utama KSP, Theo Litaay, bahwa Faktor utama permasalahan di Papua adalah kepemimpinan. Penting sekali kepemimpinan sebuah provinsi harus memiliki komitmen yang kuat terhadap program-program pembangunan.