manokwaripos.com – Sejumlah kabar terus bermunculan di pemberitaan media berkaitan dengan rencana kegiatan aksi demonstrasi penolakan Otsus Jilid II dan Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua yang digelar oleh Petisi Rakyat Papua (PRP), pada Selasa 10 Mei 2022. Juru bicara PRP Jefry Wanda mengklaim bahwa sesuai imbauan yang telah dikeluarkan pada 5 Mei lalu, aksi demonstrasi dari 122 organisasi yang tergabung dalam PRP akan dilakukan secara serentak. Beberapa wilayah di Papua yang telah terkonfirmasi melaksanakan aksi yakni di Jayapura, Manokwari, Sorong, Kaimana, Wamena, Yahukimo, Dogiyai, Mapia, dan Deiyai.
Menurutnya, pemekaran tiga provinsi hanya diputuskan berdasarkan pertimbangan politik dan laporan BIN guna menghancurkan nasionalisme rakyat Papua serta bagian dari politik adu domba hanya memperkuat politik identitas yang dengan mudah memicu konflik horizontal di antara rakyat Papua. PRP bahkan menuding bahwa alasan pemerintah menerapkan DOB dan Otonomi Khusus Jilid II demi kesejahteraan dan pembangunan bagi rakyat Papua hanyalah omong kosong. Secara realitas, disebut bahwa saat ini masyarakat Papua hanya menjadi objek, bukan subjek.
Aparat Siap Bertindak Tegas
Sementara dari pihak aparat, melalui Kapolresta Jayapura Kota Kombes Polisi Gustav Urbinas, secara tegas menyatakan bahwa pihaknya telah memberikan peringatan agar aksi tersebut tidak dilakukan oleh kelompok yang menyebut sebagai Petisi Rakyat Papua (PRP). Selama ini aparat kepolisian sangat kooperatif dan tidak pernah menutup ruang demokrasi bagi siapapun yang ingin menyampaikan aspirasi. Pihaknya menyayangkan bahwa aksi yang direncanakan tidak memenuhi syarat formal sesuai aturan. Cara penyampaian surat pemberitahuan maupun surat izin dari pihak bersangkutan sangat tidak beretika. Secara kronologis, mereka memberikan surat tanpa memberitahu tujuan dan langsung melarikan diri seperti pencuri. Secara formal tidak memenuhi syarat karena tidak ada klarifikasi dari pihak yang melaksanakan aksi, bahkan hanya menyuruh orang lain untuk mengantarkan surat permohonan izin aksi. Padahal tata cara penyampaian pendapat telah diatur dalam UU No.9 Tahun 1998.
Untuk itu, pihak aparat TNI-Polri berencana menurunkan seribu pasukan untuk mengantisipasi gelombang aksi tersebut. Secara tegas disampaikan bahwa jika terdapat kelompok yang muncul maka akan diambil tindakan tegas dengan pembubaran secara paksa sesuai prosedur yang berlaku. Rencana aksi tersebut tidak mengantongi izin dari pihak Kepolisian.
Waspadai Provokator dan Penunggang Aksi
Berdasarkan kejadian di sejumlah aksi penolakan DOB dan Otsus sebelumnya, kegiatan aksi demonstrasi yang pada awalnya disebut akan berlangsung damai namun pada saat pelaksanaan cenderung mengarah pada kondisi inkondusif bahkan beberapa berakhir dengan kerusuhan hingga menimbulkan korban.
Aksi demonstrasi yang terdiri dari beberapa elemen massa dan pergerakan cenderung rentan untuk diprovokasi serta ditunggangi. Dalam aksi penolakan DOB di Yahukimo, secara terang-terangan Ketua KNPB Yahukimo, John Sugun berada dalam barisan Ikatan Alumni Yahukimo di Jawa, Bali, dan Sumatera (HAJABASU) yang saat itu sebagai pihak yang menginisiasi adanya aksi. Kerusuhan pecah lantaran massa dari KNPB yang kemudian bertindak anarkis membakar sejumlah bangunan di Blok A milik komunitas pendatang, hingga menimbulkan korban.
Kemudian, Juru bicara TPNPB Sebby Sambom adalah salah satu pihak yang lantang melayangkan ancaman kepada para bupati yang akan mengurus kebijakan DOB. Ia bahkan mengancam akan membunuh para bupati yang pro dengan rencana pemekaran wilayah tersebut. Di sisi lain dalam pihak yang sama, tokoh oposisi pro kemerdekaan Saul Y Bomay yang katanya juga menjadi juru bicara TNPB OPM bergerilya menyusup dalam pergerakan berkonsolidasi dengan organisasi atau kelompok lain untuk menyuarakan penolakan serta mendukung adanya aksi demonstrasi di jalan. Dalam setiap aksi, ia selalu menitipkan pesan perjuangan kemerdekaan sebagai salah satu poin tuntutan. Ia sadar, dengan modal kesenioritasnya mampu mempengaruhi sebagian besar masyarakat yang mungkin tidak memiliki pengetahuan yang lebih tinggi darinya serta memiliki sikap militan dalam setiap kegiatan atau aksi yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah ataupun menyinggung kemerdekaan. Di benak mereka, mungkin ketika lepas dari Indonesia Papua akan lebih maju dari sebelumnya, padahal kenyataannya tidak demikian. Timor leste adalah bukti nyata.
Masih dalam aksi penolakan DOB, tepatnya di Wamena pada bulan Maret lalu. Terindikasi adanya dukungan terselubung dari Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Papua Theo Hasegem, berafiliasi dengan tokoh KNPB serta ULMWP. Menjadi hal miris adalah, terdapat salah satu pendukung dari aksi tersebut yang berasal dari kader partai dan orang pemerintahan daerah, dimana seharusnya patuh pada kebijakan pusat.
Pada akhirnya, pemerintah tidak boleh kalah dengan segelintir kepentingan yang mengatasnamakan masyarakat Papua namun seperti gunung es, dimana maksud yang terpendam dan bersifat golongan jauh lebih banyak dan kompleks. Pemerintah perlu langkah tepat dan strategis, terutama perihal ketegasan dalam pemberantasan kelompok separatis dan teroris di Papua.
Penolakan Rencana Aksi dari Sejumlah Tokoh Adat Papua
Penegasan bahwa aksi demonstrasi tersebut tidak mutlak mewakili masyarakat tercermin dari beberapa pihak yang justru menolak adanya rencana aksi. Pihak tersebut bisa disebut sebagai tokoh yang berpengaruh di masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan sikap kritis masyarakat, karena setiap terdapat pergerakan aksi, isu yang diangkat selalu dihubungkan dengan hal sensitif untuk menarik emosi.
Tokoh Adat Papua dari Wilayah Tabi, Yanto Eluay angkat bicara terkait adanya seruan aksi serentak dari kelompok masyarakat yang menamakan diri sebagai Petisi Rakyat Papua (PRP) untuk menolak Otonomi Khusus (Otsus) Papua Jilid II dan rencana pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua. Secara tegas, dirinya menolak bentuk aksi demonstrasi tersebut karena dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi warga masyarakat yang tinggal di wilayah adat Tabi, khususnya di wilayah Kota Sentani dan Kota Jayapura.
Tokoh kharismatik suku Sentani tersebut juga berharap kepada para tokoh adat di wilayah Tabi, baik di wilayah Kota Jayapura juga dapat menyampaikan hal yang sama. Supaya sama-sama mengimbau untuk tidak lagi terdapat aksi demo yang dilakukan di atas wilayah adat Tabi. Karena masyarakat adat tabi telah mendukung Otonomi Khusus Papua Jilid 2 dan juga mendukung rencana pembentukan DOB di Papua.
Adanya penolakan juga disampaikan oleh Pengurus Pengendali Masyarakat Wilayah Adat Lapago dan Mepago se Pegunungan Tengah Papua. Melalui Wakil Ketuanya, Sam Kogoya, SH, pihaknya mengeluarkan imbauan kepada pelajar dan alumni serta masyarakat dari wiayah adat lapago udan mepago yang berdomisili di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, dan Keerom untuk tidak mengikuti aksi demonstrasi. Kemudian, pihak kepolisian juga tidak memberikan izin demonstrasi, sehingga jika tidak mengindahkan imbauan namun kemudian terjadi sesuatu, maka pihaknya tidak bertanggung jawab.
Imbauan untuk Tidak Ikut Aksi dari Pendeta Jones Wenda
Tak hanya dari tokoh adat, seruan untuk tidak mengikuti aksi juga muncul dari tokoh agama, salah satunya dari Pendeta Jones Wenda. Dalam video singkat yang beredar di lintas platform jagad maya, dirinya mengimbau kepada seluruh umat beragama untuk tidak terhasut ajakan yang mengatasnamakan PRP. Secara tegas dinyatakan bahwa kita sebagai umat beragama semua cinta kedamaian, kita sebagai umat Tuhan seharusnya saling menjaga kedamaian. Jangan pernah mau menjadi alat bagi oknum yang memiliki kepentingan tertentu namun mengorbankan masyarakat apalagi mengatasnamakan agama atau gereja.
Tanah Papua tanah damai, Tanah Papua tanah Tuhan, oleh sebab itu mari kita jaga dengan baik. Tuhan Yesus memberkati kita semua.
__
Agus Kosek
(Pemerhati Masalah Papua)