manokwaripos.com – Sebuah pernyataan mengejutkan datang dari pernyataan Gubernur Papua, Lukas Enembe berkaitan dengan respon terhadap kebijakan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua yang saat ini akan dibahas oleh DPR. Secara enteng dirinya menyatakan bahwa rencana pemekaran DOB tidak memberikan keuntungan kepada Orang Asli Papua (OAP) sebab jumlah penduduk setempat tidak setara dengan jumlah pendatang yang diprediksi akan berdatangan pasca keputusan pemekaran.
Gubernur petahana tersebut juga mengklaim bahwa masyarakat Papua menolak rencana pemekaran karena tak memiliki sumber daya manusia yang mumpuni untuk mengelola tiga provinsi baru. Selain itu, dirinya juga merasa bahwa masyarakat Papua tidak dilibatkan secara langsung dalam rencana kebijakan dari pemerintah pusat tersebut.
Paradoks Sang Gubernur yang Meragukan Masyarakatnya Sendiri
Salah satu tugas seorang Gubernur diluar hal yang berkaitan dengan kebijakan ialah memperhatikan masyarakat yang dipimpinnya. Majunya sumber daya manusia dan kualitas pembangunaan di suatu wilayah juga dipengaruhi oleh andil seorang gubernur. Pernyataan sekaligus alasan dari Lukas Enembe menolak DOB hanya karena merasa bahwa OAP tidak memiliki kapabilitas dan kapasitas dalam mengelola provinsi baru seperti menampar wajahnya sendiri. Terlebih di masa kepempimpinannya yang hampir 10 tahun menjadi nahkoda bagi Papua namun seperti tidak mampu mengangkat serta membanggakan masyarakatnya sendiri.
Padahal di momentum sebelumnya, di hadapan para pegawai pemerintah daerah Papua, Lukas Enembe secara lantang mendorong kepada ASN agar dalam proses pembangunan di Papua diperlukan seorang pemimpin yang dibentuk melalui berbagai pelatihan dan pengembangan kompetensi. Jika ditarik lebih luas lagi, hal ini bisa menjadi salah satu modal dalam menyambut kebijakan pemekaran DOB Papua nantinya.
Menagih Janji Lukas Enembe Mendukung DOB Papua
Kembali pada salah satu tugas Gubernur dan hubungannya dengan perkembangan masyarakat yang dipimpinnya. Bahwa sekali lagi, isu kebijakan pemekaran wilayah bukan merupakan hal baru bagi masyarakat Papua. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk perhatian pemerintah pusat terhadap upaya percepatan pembangunan wilayah Papua. Secara lebih spesifik, sebelum Lukas Enembe yang saat ini menjabat Gubernur Papua selama dua periode. Isu tersebut telah menyeruak di sebagian masyarakat menjadi sebuah kajian hingga harapan.
Bahkan, dalam sebuah kajian dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutkan bahwa salah satu argumen yang mendukung pemekaran suatu wilayah antara lain, kebutuhan mengatasi jauhnya jarak rentang kendali antara pemerintah dan masyarakat. Rentang kendali yang lebih pendek dan alokasi fiskal yang lebih merata seyogyanya menjadi modal dasar bagi peningkatan pelayanan di setiap daerah, khususnya bagi daerah pemekaran. Dalam hal ini, Provinsi Papua memenuhi argumentasi pendukung pemekaran tersebut karena wilayahnya yang begitu luas.
Namun seperti tak ingin tertinggal oleh momentum isu, jika tak ingin disebut memanfaatkannya. Tahun 2013, saat Lukas Enembe melakukan kampanye pencalonan gubernur. Di hadapan ribuan massa yang memadati lapangan Sinapuk, Wamena, dengan suara lantang menyatakan bahwa ia adalah Gubernur Papua yang terakhir. Pernyataan tersebut secara tak langsung menegaskan bahwa dirinya menyetujui pemekaran Provinsi Papua, dimana salah satunya yakni Pegunungan tengah dengan Wamena sebagai ibu kota. Bahkan, menurut beberapa tokoh senior Papua, kemenangan Lukas Enembe dan (Alm) Klemen Tinal hingga mencapai lebih dari 50% karena membawa isu pemekaran provinsi dalam setiap kampanye. Sebuah strategi merespon isu aktual sekaligus meminang, serta memikat harapan masyarakat.
Isu pemekaran wilayah sebenarnya telah menjadi amunisi bagi Lukas Enembe untuk merebut perhatian masyarakat. Mundur tiga tahun sebelum masa kampanye pencalonan Gubernur berlangsung, yakni tahun 2010. Saat itu dirinya masih menjabat sebagai ketua Asosiasi Bupati se-kawasan Pegunungan Tengah Papua secara tegas mengajukan pembentukan provinsi baru. Ajuan tersebut menindaklanjuti sikap pemerintah pusat jika akhirnya tidak mendengar aspirasi masyarakat menjadikan kawasan pegunungan tengah sebagai Kawasan infrastruktur untuk membuka isolasi yang sudah lama. Saat itu, selain masalah transportasi, kawasan Pegunungan Tengah juga sangat memprihatinkan meski sumber daya alam sangat kaya. Ia menyebut, sebesar 70% dari 1,2 juta penduduk asli Papua di kawasan tersebut dikategorikan penduduk miskin.
Lukas juga menilai, bahwa miskinnya infrastruktur di kawasan Pegunungan Tengah ditengarai karena sikap diskriminatif dan pembiaran dari Pemerintah Provinsi Papua. Meski saat itu pemerintah pusat memberlakukan moratorium pemekaran wilayah, namun Lukas yakin pemerintah pusat akan merestui pendirian provinsi Pegunungan Tengah. Ia berharap tahun 2011 usulan pembentukan provinsi itu diterima oleh pemerintah pusat. Apalagi syarat pembentukan provinsi sudah terpenuhi, yakni sudah ada 10 kabupaten dan dukungan dari 1,2 juta penduduk di kawasan tersebut.
Jejak Digital Dukungan Lukas Enembe Terhadap Kebijakan DOB
Seperti sebuah peribahasa, apa yang kita tanam adalah yang kita tuai, begitu juga jejak dalam dunia digital. Pernyataan dukungan terhadap DOB oleh Lukas Enembe yang disaksikan berjuta pasang mata dan telinga kala itu masih menjadi memori bagi sebagian orang. Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai menyampaikan bahwa pemekaran DOB di Papua merupakan permintaan Gubernur Papua, Lukas Enembe bersama semua unsur kepada pemerintah Pusat pada tahun 2018. Melalui konsep Otsus Plus, beliau datang dengan semua unsur, meminta pemekaran dan khusus untuk Laapago diminta segera dimekarkan menjadi provinsi percontohan infrastruktur.
Dalam perjalanannya, pembentukan DOB di Papua telah melalui dinamika proses politik dan hukum yang kemudian telah final. Telah dilakukan penandatanganan peraturan pemerintah dan juga telah terbit UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang perubahan Kedua atas UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Sehingga jika saat ini Lukas Enembe menyatakan menolak, maka menjadi sebuah kebingungan jamak karena sebenarnya masih berhadapan dengan gubernur yang sama namun muncul dengan sikap dan pemikiran yang berubah. Bahkan alasan yang keluar dari sang gubernur sangat naif. Dari penyebutan bahwa masyarakat tidak membutuhkan pemekaran hingga meragukan sumber daya manusia Papua dalam mengelola provinsi baru nantinya.
Jika seorang Gubernur saja justru meragukan kemampuan dan sumber daya masyarakat yang dipimpinnya, maka kita pantas untuk juga meragukan kepemimpinan dan kapasitas seorang Gubernur yang telah memimpin bumi Cenderawasih selama 10 tahun ini. Jangan-jangan kondisi inilah yang menjadi salah satu penyebab Papua susah diajak lari maju.
__
Agus Kosek
(Pemerhati Masalah Papua)