manokwaripos.com – Meski Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua telah disahkan menjadi undang-undang sejak 30 Juni 2022 lalu, namun riak respon publik terutama yang berada di pihak oposisi atau kontra terpantau masih terus terunggah di lini masa media sosial atau terkemas dalam artikel opini yang terwadah di media online. Sebagian masih menyisakan rasa pesimis bahwa kebijakan pemekaran mampu menyelesaikan permasalahan di Papua, lalu sebagian lagi mengkhawatirkan kondisi orang asli Papua (OAP) yang mungkin akan terdampak dan terpinggirkan ketika kebijakan pemekaran tersebut terealisasi.
Sejumlah narasi pesimistik tersebut banyak diangkat oleh pihak-pihak yang menyatakan diri sebagai aktivis yang concern terhadap permasalahan Papua. Melalui rangkaian bahasa persuasif, mereka mencoba memainkan opini publik, namun sayangnya narasi tersebut banyak yang hanya melihat dari satu sisi sumber. Tak banyak artkel yang memenuhi syarat melihat fakta atau realita bersifat cover both side atau berasal dari dua sumber yang berbeda serta berlawanan. Lagi-lagi, dampak dari kemunculan artikel semacam ini yang banyak dirugikan adalah pihak pemerintah. Mungkin keterbatasan akses ataupun pola pendekatan dan framing dari penulis mendasari faktor-faktor tersebut. Di sisi lain, pemerintah yang banyak terbantu oleh pemberitaan media online mainstream, namun masih menyisakan celah dalam konten narasi bersifat opini yang kurang menyentuh ranah media sosial. Padahal, masyarakat kita banyak bersinggungan sebagai pengguna media sosial daripada sebagai pengakses media online.
Salah Kaprah Pemahaman Kebijakan Pemekaran Bakal Kesampingkan OAP
Dari beberapa narasi pesimistik yang muncul tersebut, salah satunya berkaitan dengan nasib OAP ketika kebijakan pemekaran tersebut nantinya terealisasi. Mereka menganggap momentum pemekaran wilayah menjadi pintu masuk besar-besaran bagi warga pendatang untuk menduduk provinsi baru. Munculnya pemahaman tersebut mungkin juga berawal dari kurangnya informasi ataupun sosialisasi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait, seperti pemerintah daerah.
Pemerintah melalui melalui pernyataan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kemendagri, Bahtiar secara tegas telah menjelaskan bahwa UU Pemekaran provinsi memberikan ruang afirmasi bagi OAP. Dalam salah satu pasal dijelaskan terkait pengisian aparatur sipil negara (ASN) dan juga tenaga honorer di tiga provinsi pemekaran Papua. Selain itu, juga dibahas relevansi antara UU pemekaran dengan penataan ASN yang sudah ada. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) menawarkan pengadaan ASN di tiga wilayah baru tersebut dengan mempertimbangkan kearifan lokal yakni komposisi 80% OAP dan 20% non OAP. Nantinya tiga provinsi baru tersebut membutuhkan ASN hingga mencapai puluhan ribu pegawai.
Pemerintah juga bakal mempertimbangkan sejumlah syarat penerimaan ASN bagi OAP. Hal tersebut akan dimatangkan kembali payung hukumnya pada kesempatan rapat kerja. Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia, menegaskan bahwa pemekaran provinsi tetap menggaransi keberadaan OAP. Telah disepakati komposisi sebesar 80 persen OAP mengisi formasi ASN.
Melalui kebijakan pemekaran wilayah, pemerintah juga berhasil memperjuangkan afirmasi OAP, dimana batas pengangkatan ASN untuk CPNS hingga 48 tahun, sedangkan usia 50 tahun untuk CPNS yang berasal dari tenaga honorer. Keputusan tersebut memiliki dasar dan alasan bahwa apabila pemerintah menggunakan skema rekrutmen CPNS seperti biasa, maka tidak akan memenuhi kebutuhan ASN di tiga provinsi baru hasil pemekaran Papua, sehingga batas persyaratan usia dinaikkan. Keputusan menaikkan usia tersebut menjadi salah satu bukti perjuangan afirmasi untuk mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua.
Pemekaran Papua Memperpendak Jangkauan Pelayanan Publik dan Pemerintahan
Salah satu isu permasalahan yang masih menjangkiti Papua adalah luasnya wilayah yang tak diimbangi dengan jangkauan fasilitas serta pelayanan yang memadai. Hal tersebut menjadi akar permasalahan yang menghambat aktivitas secara keseharian maupun pertumbuhan pembangunan secara lebih luas. Kondisi tersebut yang juga menjadi salah satu dasar mengapa selama beberapa tahun ke belakang sejumlah tokoh di tanah Papua terus memperjuangkan adanya pemekaran wilayah. Tokoh intelektual Kabupaten Pegunungan Bintang, Yance Tapyor menyatakan bahwa tujuan dari pemekaran adalah memperpendek jangkauan pelayanan pemerintahan di berbagai aspek, terutama pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan ekonomi.
Pengamat politik lokal Papua, Frans Maniagasi menyatakan bahwa gagasan pemekaran Provinsi Papua melalui DOB sudah diperjuangkan sejak lama, secara histori dapat ditelusuri pada tahun 1980-an. Terdapat dua dimensi dalam melihat DOB Papua, pertama dimensi filosofis, yakni proses desentralisasi penyebab terjadinya demokratisasi pada tingkat bawah dimana pemerintah diberikan kewenangan untuk mengatur daerah sendiri. Kedua, dimensi sosiologis, dimana setelah adanya UU Otsus 2001 terdapat kemajuan di Papua pada posisi strategis struktural mulai dari jabatan gubernur hingga kepala distrik yang dijabat oleh orang Papua sendiri. Pada akhirnya, seluruh elemen perlu menyadari bahwa DOB adalah sebuah kebijakan untuk mendekatkan masyarakat pada kesejahteraan. Dalam mencapai tujuan ini, dibutuhkan kerja kolaborasi.
Sementara itu, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua, Lenis Kogoya juga menegaskan bahwa tiga daerah yang menjadi provinsi baru sudah sejak lama mengingingkan pemekaran. Meski begitu, dirinya tak menampik pro-kontra di tengah masyarakat terkait kebijakan pemekaran tersebut. Di era demokrasi seperti sekarang, hal tersebut merupakan wajar dan tidak perlu disikapi secara berlebihan. LMA sendiri memiliki peran strategis untuk mengawal seluruh program Pemerintah yang diatur dalam sejumlah Undang-Undang. LMA akan selalu menjadi garda terdepan untuk memastikan proses pembangunan yang sesuai dan menjawab kebutuhan masyarakat.
Membantah Isu Pengesahan Pemekaran Tingkatkan Konflik Horizontal
Salah satu isu yang juga muncul pasca pengesahan pemekaran tiga wilayah Papua dalam bidang keamanan adalah adanya peningkatan konflik horizontal yang bakal terjadi. Jauh-jauh hari sebelumnya, pihak aparat kepolisian sebenarnya telah mengantisipasi dengan mempertebal pasukannya di beberapa kantong wilayah strategis dan yang dianggap rawan. Secara tegas bantahan terhadap isu tersebut juga disampaikan oleh Kapolda Papua, Irjen Pol Mathius D Fachri, bahwa situasi Papua kondusif pasca penetapan tiga provinsi baru oleh DPR RI.
Dirinya mengharapkan situasi kondusif bisa terus berlangsung dan masyarakat bisa bersama-sama untuk menjaga ketentraman, dan kedamaian. Pemekaran diberikan untuk memperpendek pelayanan pemerintah kepada masyarakatnya di wilayah masing-masing. Lalu, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga jangan disalahtafsirkan.
Seluruh tokoh politik di Papua harus menghilangkan ego demi pembangunan kesejahteraan rakyat.
Sikap Optimis dari Tokoh Papua Terhadap Kebijakan Pemekaran Wilayah
Beberapa tokoh Papua juga memberikan respon dan sikap optimis atas disahkannya pemekaran tiga provinsi baru di Papua. Sejumlah anggota DPRD Puncak Jaya yang tergabung dalam tiga fraksi, Nasdem, PDI Perjuangan dan Fraksi Gabungan menyatakan dukungan penuh terhadap pemerintah pusat terkait pembentukan DOB Papua Tengah. Ketiga fraksi tersebut juga membantah pernyataan yang disampaikan oleh salah satu anggota DPRD Puncak Jaya, Bekias Kogoya, yang mengatakan, DOB Papua Tengah sejauh ini sudah ditolak oleh seluruh masyarakat dan elemen, termasuk 30 Anggota DPRD Puncak Jaya. Menurut tiga fraksi, pernyataan tersebut bukan merupakan pernyataan yang mewakili masyarakat, termasuk 30 Anggota DPRD Puncak Jaya. Ketua DPRD Puncak Jaya, Zakaria Telenggen, mengimbau kepada seluruh pihak di Puncak Jaya untuk tidak mengeluarkan pernyataan yang sifatnya provokatif yang justru dapat memicu suasana yang tidak diinginkan.
Sementara itu, rasa suka cita juga muncul dari warga di empat kabupaten yakni Merauke, Mappi, Asmat dan Boven Digoel menyambut kehadiran Provinsi Papua Selatan dengan menggelar pawai dan doa syukur. Warga berterima kasih kepada negara atas perjuangan dalam pembentukan Papua Selatan selama 20 tahun akhirnya dikabulkan DPR. Di tempat lain, sejumlah elemen masyarakat di Merauke membentangkan bendera merah putih raksasa berukuran 76 meter di halaman Kantor Bupati Merauke dalam rangka menyambut disahkannya Rancangan Undang-Undang pembentukan Provinsi Papua Selatan.
__
Agus Kosek
(Pemerhati Masalah Papua)