manokwaripos.com – Kejadian demi kejadian yang dilakukan oleh Kelompok Separatis dan Teroris (KST) di Papua masih menjadi salah satu permasalahan yang terus diurai dan diselesaikan oleh pemerintah. Sejumlah pihak dari lintas bidang juga tengah memberikan alternatif masukan agar eksistensi kelompok yang kerap bertindak kejam tersebut tak lagi memperkeruh kedamaian dan menghambat upaya percepatan pembangunan di bumi cenderawasih.
Pola penanganan yang hingga kini masih terus diformulasikan melalui sejumlah upaya atau kebijakan, kadang menimbulkan tanya hingga sentimen negatif kepada pemerintah oleh sejumlah pihak. Ketegasan hingga evaluasi dari strategi menjadi hal yang dinanti publik merespon permasalahan separatis di tanah Papua yang belum juga terselesaikan. Salah satu kebijakan yang bisa dibilang terdampak adalah adanya pemekaran DOB Papua. Kebijakan yang belum lama disahkan undang-undangnya tersebut secara prinsip merupakan salah satu upaya mempercepat kemajuan dan pembangunan di wilayah Papua. Selain itu memotong masalah jarak demi pelayanan pemerintah dan aktivitas ekonomi yang lebih optimal. Sisi lain sebagai konsekuensi pemekaran adalah hadirnya sumber daya manusia dan infrastruktur baru untuk melengkapi komposisi sebuah provinsi. Termasuk didalamnya adalah penambahan kekuatan di lingkup aparat keamanan yang secara tidak langsung akan semakin mempersempit ruang gerak serta eksistensi kelompok separatis Papua. Sikap tak menguntungkan bagi kelompok tersebut menjadi salah satu alasan mengapa kelompok separatis menjadi salah satu pihak yang konsisten menolak kebijakan pemekaran DOB di Papua.
Kejadian di Nduga dan Anggapan Bahwa Pemekaran Tingkatkan Konflik Bersenjata
Sebuah kejadian biadab kembali dilakukan oleh kelompok separatis dan teroris pimpinan Egianus Kogoya di Kabupaten Nduga. Berdasarkan keterangan Kabid Humas Polda Papua, Kombes Ahmad Musthofa Kamal dijelaskan bahwa kelompok tersebut menyerang warga sipil pada Sabtu 16 Juli 2022 pukul 09:15 WIT menyebabkan 10 orang tewas dan 2 luka-luka. Hingga saat ini pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan, belum diketahui motif penembakan yang dilakukan. Polres Nduga dibantu Satgas Damai Cartenz serta prajurit TNI terus mengejar para pelaku yang diperkirakan berjumlah 21 orang.
Satu hari sebelum kejadian, dalam pemberitaan di Jubi.id memuat pernyataan dari Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (AIDP), Latifah Anum Siregar bahwa pemekaran Papua untuk membentuk tiga provinsi baru akan meningkatkan konflik bersenjata di Papua. Pemekaran juga akan memperluas wilayah operasi militer jika provinsi baru membuka pintu investasi, mendirikan objek vital nasional, maupun mengamankan pemerintah daerah.
Untuk meredakan konflik bersenjata tersebut, kedua pihak yang bertikai harus bersepakat untuk menghentikan konflik. Ia meminta pemerintah meninjau kebijakan keamanan di Papua, mempertimbangkan mekanisme operasi militer lain selain perang, dan memberikan ruang bagi pemerintahan sipil di tingkat provinsi hingga kabupaten/ kota untuk turut menangani dampak konflik bersenjata di Papua.
Opini serupa juga disampaikan oleh Direktur Perkumpulan Advokat HAM (PAHAM), Gustav Kawer bahwa wilayah Papua telah mengalami konflik bersenjata terpanjang dalam sejarah Indonesia. Konflik tersebut telah berlangsung selama 59 tahun dihitung sejak masa transisi 1963, masa Pepera, zaman Orde Lama, Orde Baru, zaman reformasi hingga masa pemberlakukan otonomi khusus bagi Papua. Akibatnya masyarakat yang harus menanggung dampak akibat konflik.
Menurutnya, konflik bersenjata di Papua dapat diselesaikan dengan cara melakukan dialog damai melibatkan pihak yang berkonflik, adanya pelurusan sejarah Papua dan penuntasan pelanggaran HAM. Selain itu perlu pengawasan yang ketat dari negara terhadap institusi TNI/POLRI terkait senjata dan amunisi yang masuk ke Papua.
Kebijakan Pemekaran Tak Berdampak Langsung Pada Konflik Bersenjata di Papua
Di sisi lain, terdapat pihak yang meyakini bahwa pemekaran provinsi bukan merupakan penyulut konflik bersenjata di Papua. Pengamat Politik Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menyambut baik kebijakan pemekaran provinsi di papua. Kebijakan tersebut diyakini mampu mengurangi konflik bersenjata karena ruang gerak mereka akan semakin sempit dan mudah dibatasi. Kondisi sebelumnya dimana kelompok separatis mudah bereksistensi melalukan aksi gangguan keamanan maupun serangan. Melalui kebijakan pemekaran yang berdampak pada bertambahnya unsur, struktur, dan infrastruktur aparat keamanan akan semakin mempersempit ruang gerak kelompok separatis.
Sementara itu, Gugus Tugas Papua (GTP) UGM melalui Ketuanya Dr. Gabriel Lele menyatakan bahwa transformasi konflik sebagai kerangka pemekaran harus diterjemahkan dalam berbagai aspek kultural maupun struktural. Negara wajib memberikan intervensi secara holistik, memberikan perhatian khusus pada aspek-aspek mikro seperti relasi orang Asli Papua (OAP) dengan migran, hak ulayat, perekonomian berpihak pada OAP serta inklusivitas politik dan birokrasi. Hal tersebut diharapkan mampu memberikan warna dalam proses transformasi konflik. Kebijakan pemekaran provinsi merupakan kompromi terbaik yang dapat diambil pemerintah untuk sampai saat ini.
Pernyataan bahwa pemekaran merupakan kebijakan tepat juga disampaikan oleh Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), John Wempi Wetipo, bahwa tiga undang-undang terkait pembentukan tiga provinsi baru di Papua dapat lebih menyejahterakan masyarakat Papua. Menurutnya, orang Papua tidak boleh miskin di tanah sendiri. Dirinya mengajak masyarakat untuk membangun Papua yang lebih sejahtera, dan berharap seluruh masyarakat Papua mau bekerja sama membangun sistem yang lebih baik dan mendukung pemerintah dalam menyejahterakan masyarakat Papua.
Menanti Evaluasi Tingkat Keamanan Papua
Perlu untuk diakui bersama, bahwa hingga saat ini situasi Papua tidak bisa dikatakan kondusif secara menyeluruh. Beberapa wilayah masih terdapat letupan dari kelompok separatis yang bergerak menunjukkan eksistensi secara bergerilya dan bertindak kejam. Kejadian penyerangan di Nduga hingga menimbulkan korban meninggal menjadi salah satu yang perlu diwaspadai hingga menjadi kajian evaluasi. Meskipun begitu, hal tersebut tidak serta merta kemudian dikaitkan secara langsung sebagai dampak dari pemekaran provinsi.
Sebagai salah satu langkah strategis, sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi terkait tingkat keamanan di wilayah Papua. Karena pada dasarnya permasalahan eksistensi kelompok separatis dan teroris di Papua terkait isu politik dan ideologi. Adanya pendekatan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Papua diindikasi tidak membawa pengaruh bagi pergerakan kelompok separatis Papua. Upaya-upaya pemerintah untuk memajukan Papua selalu mendapatkan resistensi dari pihak tersebut, mulai dari revisi Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus (Otsus) hingga UU pemekaran tiga wilayah baru di Papua. Satu hal yang menjadi misi panjang mereka adalah ingin memisahkan diri dari Indonesia.
Kelompok Separatis Papua dalam pendangannya juga menilai bahwa realisasi UU Pemekaran tiga provinsi baru dianggap sebagai upaya pemerintah mendatangkan warga migran ke tanah Papua, termasuk kehadiran aparat keamanan. Hal tersebut dinilai dapat mempersempit ruang gerak dan eksistensi serta membahayakan posisi.
Padahal, niat baik pemerintah melalui kebijakan pemekaran DOB adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara lebih dekat dan menjangkau kampung/ distrik yang selama ini sulit dijangkau. Kebijakan DOB juga nantinya memberikan peluang lapangan pekerjaan yang cukup banyak untuk menjawab keluhan masyarakat terkait permasalahan pengangguran di Papua.
__
Agus Kosek
(Pemerhati Masalah Papua)