manokwaripos.com – Eksistensi Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua atau dalam istilah lain Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) tak bisa dinilai sebelah mata, melalui berbagai jaringan dan afiliasinya, hingga saat ini masih terus bermanuver menolak setiap kebijakan pemerintah dengan melakukan gangguan keamanan maupun aksi kekerasan yang kerap menimbulkan korban, baik dari aparat maupun masyarakat sipil. Kejadian penyerangan di Nduga beberapa hari lalu menjadi cambuk sekaligus refleksi bagi kita semua bahwa kelompok tersebut masih memiliki taring dalam letupan eksistensi yang dilakukan secara bergerilya.
Kebijakan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua yang melahirkan tiga provinsi baru di wilayah Papua kerap dituding menjadi salah satu pemicu eskalasi konflik bersenjata di Papua. Padahal kebijakan tersebut dimaksudkan sebagai upaya percepatan pembangunan dan memotong jarak pelayanan yang sebelumnya menjadi kendala bagi wilayah yang memiliki jangkauan luas seperti Papua. Secara mendasar, konflik yang terjadi melibatkan KST Papua tersebut disebabkan adanya perbedaan pandangan ideologi tentang kedaulatan negara. Atas dasar tersebut pendekatan kesejahteraan bagi masyarakat Papua tak membawa pengaruh bagi pergerakan kelompok separatis untuk menuntut pelepasan diri dari NKRI. Kebijakan pemekaran dianggap akan semakin mempersempit ruang gerak kelompok tersebut akibat tumbuhnya struktur, infrasatruktur, hingga sumber daya manusia di provinsi baru. Salah satunya kehadiran dan penambahan aparat keamanan yang dinilai semakin mempersempit ruang gerak kelompok tersebut.
Dorongan Sejumlah Pihak Agar Pemerintah Laksanakan Evaluasi Pendekatan Keamanan Papua
Tak ada pihak manapun yang menginginkan kejadian di Nduga terulang lagi menjadi siklus kekerasan dalam beragam modus dan jenis. Tak hanya kebijakan pemekaran, namun apapun yang dikerjakan pemerintah terhadap Papua akan ditentang oleh kelompok tersebut melalui sejumlah manuver. Tindakan kekerasan menjadi hal biadab yang dilakukan hanya demi menunjukkan eksistensi. Hingga saat ini tak bisa dimengerti terkait masih adanya pihak, seperti oknum aktivis atau elit politik yang condong berada di belakang kelompok brutal tersebut.
Sejumlah pihak secara responsif tak hanya berduka, menyayangkan, ataupun mengecam tindakan KST Papua seperti kejadian di Nduga, namun sudah pada tindakan konkrit mendorong pemerintan untuk mengevaluasi pendekatan keamanan di Papua agar siklus kekerasan tak berulang dan menimbulkan banyak lagi korban.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid meminta pemerintah agar segera lakukan evaluasi terhadap pendekatan keamanan di Papua. Kejadian di Nduga yang menewaskan 10 warga sipil terjadi karena eskalasi konflik bersenjata dalam tiga tahun terakhir. Tercatat selama tahun 2022 berjalan terdapat 12 insiden yang dilakukan oleh organisasi pro kemerdekaan Papua. Pemerintah perlu merespon secara mendasar agar tak lagi ada korban dengan evaluasi pendekatan keamanan. Panglima TNI misalnya dalam beberapa kali kesempatan menyampaikan komitmennya untuk mengurangi pendekatan militer, demikian pula Kepala Staf Angkatan Darat yang mengemukakan pentingnya pendekatan humanis.
Sementara itu, Analis Politik Internasional dan Resolusi Konflik Adriana Elisabeth menyatakan bahwa pendekatan peningkatan kesejahteraan Papua yang dilakukan pemerintah hingga saat ini belum efektif meredam aksi separatis KST Papua atau KKB. Upaya-upaya pemerintah untuk memajukan Papua selalu mendapatkan resistensi dari kelompok separatis mulai dari revisi UU Otonomi Khusus (Otsus) hingga UU pemekaran 3 wilayah baru di Papua. Kelompok tersebut cenderung ingin memisahkan diri dari indonesia. Segala isu terkait perbaikan papua yang dilakukan oleh pemerintah selalu ditolak. Bahkan terkait kebijakan pemekaran, dianggapnya sebagai upaya mendatangkan warga migran ke tanah Papua termasuk penambahan aparat yang membuat terbatas dalam bergerak. Sejak awal, mereka ingin melepaskan diri dari NKRI melalui pergerakan bersenjata ataupun menyusup berorganisasi maupun berpolitik.
Anggota Komisi I DPR Papua, Laurenzus Kadepa menyarankan kepada kelompok bersenjata atau TPNPB agar menghentikan aksi gangguan kepada masyarakat sipil. Mereka tidak bersalah dan tidak mengetahui agenda politik apapun. Kemudian kepada pemerintah agar segera evaluasi kebijakan keamanan di Papua. Segala kebijakan pemerintah untuk kemajuan Papua harusnya didasarkan dari aspirasi rakyat akar rumput. Anggota Komisi I DPR lainnya, Dave Laksono juga menilai bahwa gerakan teroris Papua merupakan salah satu pekerjaan rumah yang jadi prioritas bagi Jenderal Andika usai dilantik sebagai Panglima TNI. Untuk menumpasnya, mantan KSAD tersebut menggunakan metode baru yang lebih lunak. Namun sejak November 2021 semakin banyak insiden penembakan yang menimbulkan korban tak hanya dari warga sipil namun juga dari aparat.
Di sisi lain, Pakar Intelijen dan Terorisme, Stanislaus Riyanta menilai bahwa kejadian di Nduga merupakan motif perlawanan terhadap NKRI. Tidak hanya sekedar eksistensi, namun kelompok separatis tersebut sudah menganggap negara dan masyarakat yang pro NKRI adalah musuh. Dirinya meminta TNI/ Polri tegas, demi keselamatan masyarakat. Komnas HAM juga perlu menyuarakan isu bahwa masyarakat menjadi korban kebiadaban kelompok bersenjata yang anti NKRI. Tanpa ketegasan dari aparat keamanan, teroris Papua akan terus berulah.
Seluruh Masyarakat di Papua Berhak Dilindungi dan Mendapat Pengayoman Pemerintah
Adanya isu yang sempat mencuat terkait perbedaan suku antara masyarakat asli dan pendatang langsung dibantah oleh perangkat pemerintah Nduga. Secara mendasar, pemerintah Nduga sangat terbuka terhadap siapapun yang datang, tinggal, dan bersama-sama bekerja. Bupati Nduga, Namia Gwijangge sangat mengecam teror kelompok separatis yang kembali menelan korban. Saat ini pemerintah sedang berupaya keras memperbaiki pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pemulihan ekonomi, tetapi kemudian dinodai aksi yang sangat tidak manusiawi. Semua masyarakat yang ada di Nduga, berhak dilindungi dan mendapat pengayoman dari pemerintah. Pemerintah Kabupaten Nduga akan bekerja sama dengan TNI dan Polri serta seluruh elemen yang ada untuk mengambil langkah dalam melindungi masyarakat. Diharapkan, teror yang terjadi pada Sabtu lalu merupakan peristiwa terakhir di Nduga maupun Papua secara umum.
Kepada masyarakat yang masih berada di Nduga, diimbau untuk tetap tenang dan tidak panik, tetapi harus selalu waspada. Kepada masyarakat di luar Papua, berharap agar tidak termakan isu provokatif. Pemerintah tidak akan pernah membedakan latar belakang, suku, dan agama siapa pun di Nduga. Kita sebagai sesama anak bangsa, sesama umat Tuhan, bergandengan tangan bersatu, bangun kebersamaan, kekompakan persatuan dan kesatuan.
Kebijakan DOB Merupakan Alat Angkut Masyarakat Papua Dari Kemiskinan
Salah satu upaya untuk memperbaiki pelayanan di berbagai bidang seperti disampaikan Bupati Nduga adalah melalui realisasi kebijakan pemekaran provinsi. Kabupaten Nduga yang berada di pegunungan Jayawijaya masuk dalam Provinsi Papua Pegunungan Tengah (Lapago) dengan ibu kota Wamena. Salah satu organisasi yang mendukung kebijakan pemekaran DOB Papua yakni Ikatan Alumni Jawa Timur (Ikaljatim) se-tanah Papua menyatakan bahwa pembentukan sejumlah DOB di Papua menjadi wahana penting dan strategis untuk mempercepat upaya mencapai kesejahteraan warga di wilayah tersebut. DOB merupakan alat angkut yang dapat mengangkat masyarakat Papua dari kondisi kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, keterisolasian dan ketidakberdayaan. Pembentukan DOB di Tanah Papua akan mempercepat upaya pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Papua, dimana selama ini sebagian besar daerah di pedalaman dan pesisir belum mendapatkan perhatian dan sentuhan pembangunan secara maksimal.
__
Agus Kosek
(Pemerhati Masalah Papua)