manokwaripos.com – Disaat sejumlah pihak sedang berduka atas tindakan brutal Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua yang melakukan penyerangan di Kabupaten Nduga hingga tewaskan 10 orang warga sipil. Muncul narasi provokatif mengatasnamakan aktivis kemanusiaan yang menuduh negara abai sekaligus meminta pertanggungjawaban atas peristiwa tersebut.
Adalah seseorang bernama Martheen Goo yang menuliskan opininya pada salah satu media online, secara enteng menyebut bahwa tewasnya 10 warga sipil di Nduga yang didalamnya terdapat pendeta dan ustaz adalah karena negara abai wujudkan dialog antara pemerintah pusat dengan masyarakat Papua. Dalam tulisan tersebut, dirinya mengklaim bahwa negara secara sengaja membuat situasi di Papua tidak aman, tidak terdapat demokrasi dan dialog, hingga tak terdapat pendekatan humanis. Mestinya negara mewujudkan Papua damai dengan cara-cara yang bermartabat. Bahkan sejumlah kebijakan untuk memajukan Papua dianggap sebagai hal yang anti kemanusiaan.
Sejumlah Upaya Pendekatan Terhadap Papua dan Banalitas Kelompok Separatis
Tak kurang dari berbagai upaya negara maupun pemerintah dalam melaksanakan pendekatan keamanan di wilayah Papua. Beragam strategi telah ditempuh dalam penyelesaian permasalahan separatis di Papua. Secara umum, wilayah Papua memang belum bisa dikatakan kondusif sepenuhnya. Beberapa tempat terkadang masih terdapat gangguan keamanan hingga aksi penyerangan dari kelompok separatis untuk menunjukkan eksistensinya. Adanya kejadian penyerangan di Kabupaten Nduga hingga menimbulkan korban meninggal menjadi salah satu yang perlu diwaspadai hingga menjadi kajian evaluasi. Meskipun begitu, hal tersebut tidak serta merta kemudian dikaitkan secara langsung sebagai dampak dari sejumlah kebijakan pemerintah, termasuk pemekaran provinsi.
Pada dasarnya, permasalahan eksistensi kelompok separatis Papua atau istilah lainnya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) berkaitan dengan isu politik dan ideologi. Berbagai upaya pemerintah untuk memajukan Papua selalu mendapat resistensi dari pihak tersebut, mulai dari revisi Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus (Otsus) hingga UU pemekaran tiga wilayah baru di Papua. Satu hal yang menjadi misi panjang mereka adalah ingin memisahkan diri dari Indonesia.
Dalam hal kebijakan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB), mereka beranggapan bahwa realisasi UU tersebut berdampak pada semakin sempitnya ruang gerak dan eksistensi serta membahayakan posisi. Sejumlah narasi dari oposisi bahkan menyebut kebijakan pemekaran menjadi pemicu eskalasi konflik bersenjata di Papua. Padahal kebijakan tersebut dimaksudkan sebagai upaya percepatan pembangunan dan memotong jarak pelayanan yang sebelumnya menjadi kendala bagi wilayah yang memiliki jangkauan luas seperti Papua. Atas dasar perbedaan ideologi dari kelompok banal yang kerap bertindak brutal tersebut, maka berbagai pendekatan kesejahetraan diindikasi tak membawa pengaruh bagi pergerakan mereka untuk lepas dari Indonesia.
Harapan adanya dialog antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua seperti yang dituliskan Martheen Goo diindikasi tak membawa pengaruh besar bagi kelompok separatis dan teroris Papua. Misi panjang mereka adalah lepas dari Indonesia bagaimanapun kondisinya. Salah satu faktor pembentuknya adalah doktrin dan pengaruh dari pemimpin kelompok tersebut. Benny Wenda misalnya, atau beberapa panglima mereka di setiap wilayah, salah satunya Egianus Kogoya yang menjadi aktor utama dalam kasus penyerangan di Nduga.
Dengan modal kewibawaan serta kesenioritasannya mampu mempengaruhi sebagian besar anggotanya yang mungkin tidak memiliki pengetahuan yang lebih tinggi darinya serta memiliki sikap militan dalam setiap kegiatan atau aksi yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah ataupun menyinggung kemerdekaan. Di benak mereka, mungkin ketika Papua lepas dari Indonesia akan lebih maju dari sebelumnya, padahal kenyataannya tidak demikian. Timor leste adalah bukti nyata.
Tanggung Jawab Negara Tindak Tegas Pelaku Penyerangan di Nduga
Isu berkaitan dengan SARA dalam beberapa kejadian terakhir sempat mencuat dan rawan ditunggangi. Kondisi di beberapa wilayah Papua saat ini terdapat rasa saling curiga antara orang asli Papua dan masyarakat pendatang. Dalam perspektif kelompok separatis dan teroris, masyarakat pendatang merupakan mata-mata aparat keamanan. Sementara di mata aparat, orang hitam yang berambut keriting dianggap kelompok separatis. Hal tersebut menjadi berbahaya karena bisa salah tangkap atau salah tembak. Korban akan terus berjatuhan, sehingga situasi tersebut harus segera diputus.
Keputusan untuk bertindak tegas berarti menjadi evaluasi dari pola pendekatan keamanan di Papua yang sebelumnya cenderung defensif dengan pola melindungi objek vital dan membangun pos-pos pengamanan. Perubahan pola dengan proses penegakan hukum seyogyanya juga mengedepankan peran dan keterlibatan masyarakat sipil agar tidak salah sasaran. Selain itu, negara juga harus merespon perang opini publik yang terus dilancarkan kelompok separatis untuk memprovokasi publik.
Rentetan tuduhan terhadap pemerintah Indonesia terkait pelanggaran HAM yang terus ditujukan oleh kelompok politik dan kelompok klandestin aktivis pergerakan kemerdekaan Papua pada akhirnya runtuh dengan sendirinya akibat berbagai aksi penyerangan dan kebiadaban KST Papua terhadap aparat maupun warga setempat. Upaya dari kelompok tersebut yang didukung oleh ULMWP melalui Benny Wenda dengan jaringannya di luar negeri mendatangkan simpatik dari dewan keamanan PBB untuk mendarat ke Papua dipastikan menemui titik buntu serta menelan pil malu.
Kecaman Sejumlah Pihak Terhadap Keberadaan Kelompok Separatis Papua
Hingga saat ini, sejumlah kecaman terus bermunculan terhadap keberadaan kelompok separatis Papua yang bertindak keji dan brutal di Kabupaten Nduga beberapa waktu lalu. Tokoh Muda Papua, Steve Mara, mengecam tindakan keji kelompok separatis Papua terhadap warga sipil. Kelompok tersebut menamakan diri mereka tentara pembebasan yang menginginkan kemerdekaan, namun ditekankan bahwa tidak ada kemerdekaan dengan pertumpahan darah apalagi korbannya warga sipil yang tidak bersalah. Tindakan mereka tidak bisa ditolerir, karena itu tidak perlu lagi gunakan pendekatan teritorial. Orang Papua dikenal penuh kasih dan tidak punya budaya bunuh orang sembarang seperti yang dilakukan kelompok tersebut. Alam dan leluhur bangsa Papua menangis melihat tindakan keji tersebut.
Sementara itu, Ketua Adat Pemuda Papua, Jan Christian Arebo, juga turut mengecam aksi insiden pembunuhan dan pembantaian terhadap 10 masyarakat sipil di Kabupaten Nduga. Dirinya mendukung TNI-Polri untuk segera melakukan tindakan penegakan hukum dan pemulihan keamanan di Kabupaten Nduga serta meminta meminta para pegiat-pegiat kemanusiaan dan juga pegiat-pegiat HAM untuk bersuara atas aksi pembantaian yang dilakukan oleh kelompok separatis pimpinan Egianus Kogoya tersebut. Hal ini merupakan tindakan keji dan tidak manusiawi yang mana dari 10 orang masyarakat sipil itu ada Hamba Tuhan, seorang pendeta dan juga seorang Ustaz yang ikut menjadi korban. Agama manapun tidak mengajarkan untuk melakukan pembunuhan terhadap sesama manusia.
Maka menjadi sesuatu yang aneh dan mencurigakan jika terdapat suatu pernyataan atau narasi dari pihak yang menuding aksi kekejaman di Nduga adalah tanggung jawab hingga kelalaian negara. Jelas dan gamblang siapa yang bertindak brutal, namun siapa yang dituduh. Jangan-jangan orang tersebut merupakan bagian dari kelompok separatis yang berusaha memutarbalikkan fakta. Tuhan yang akan membalas.
__
Agus Kosek
(Pemerhati Masalah Papua)