manokwaripos.com – Sebuah unggahan video di media sosial yang memuat pernyataan dari sejumlah tokoh Petisi Rakyat Papua (PRP) kembali muncul menjelaskan perihal rencana aksi demonstrasi yang kembali digelar pada 29 Juli 2022 di sejumlah titik wilayah Papua. Juru bicara PRP, Jefry Wenda secara tegas menyatakan bahwa aksi yang akan digelar pada 29 Juli 2022 tersebut adalah bentuk penolakan dari kebijakan pemekaran provinsi yang akan disahkan oleh Presiden pada akhir Juli mendatang.
PRP merasa perlu kembali melaksanakan aksi dengan mengajak masyarakat Papua untuk berpartisipasi turun ke jalan. Menurut mereka, kebijakan pemekaran Provinsi tak berpihak pada Orang Asli Papua (OAP). Selain itu, kebijakan tersebut juga merupakan bentuk penjajahan dari pemerintah pusat terhadap masyarakat yang tinggal di tanah Papua.
Munculnya pernyataan tersebut perlu diwaspadai karena hal tersebut telah berungkali terjadi dimana berakhir dengan muatan politik yakni keterlibatan kelompok separatis yang turut menunggangi dengan tuntutan referendum. Sementara, pada akhirnya tuntutan penolakan DOB hanya menjadi pengantar untuk mencari simpati publik.
Salah Kaprah Pemahaman Kebijakan Pemekaran Adalah Bentuk Kolonisasi
Berdasarkan sejumlah narasi yang pernah diunggah oleh akun Petisi Rakyat Papua dalam beberapa waktu ke belakang. Terdapat beberapa narasi pesimistik yang disampaikan Jefry wenda, salah satunya berkaitan dengan nasib OAP ketika kebijakan pemekaran terealisasi. Mereka menganggap momentum pemekaran wilayah menjadi pintu masuk besar-besaran bagi warga pendatang untuk menduduki provinsi baru atau kasarnya disebut kolonisasi. Munculnya pemahaman tersebut mungkin juga berawal dari kurangnya informasi ataupun sosialisasi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait, seperti pemerintah daerah. Atau memang banalitas dari kelompok mereka yang terlanjur condong ke arah oposisi.
Pemerintah melalui pernyataan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kemendagri, Bahtiar secara tegas telah menjelaskan bahwa UU Pemekaran provinsi memberikan ruang afirmasi bagi OAP. Dalam salah satu pasal dijelaskan terkait pengisian aparatur sipil negara (ASN) dan juga tenaga honorer di tiga provinsi pemekaran Papua. Selain itu, juga dibahas relevansi antara UU pemekaran dengan penataan ASN yang sudah ada. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) menawarkan pengadaan ASN di tiga wilayah baru tersebut dengan mempertimbangkan kearifan lokal yakni komposisi 80% OAP dan 20% bukan OAP. Nantinya tiga provinsi baru tersebut membutuhkan ASN hingga mencapai puluhan ribu pegawai. Pemerintah juga bakal mempertimbangkan sejumlah syarat penerimaan ASN bagi OAP. Hal tersebut akan dimatangkan kembali payung hukumnya pada kesempatan rapat kerja.
Melalui kebijakan pemekaran wilayah, pemerintah juga berhasil memperjuangkan afirmasi OAP, dimana batas pengangkatan ASN untuk CPNS hingga 48 tahun, sedangkan usia 50 tahun untuk CPNS yang berasal dari tenaga honorer. Keputusan tersebut memiliki dasar dan alasan bahwa apabila pemerintah menggunakan skema rekrutmen CPNS seperti biasa, maka tidak akan memenuhi kebutuhan ASN di tiga provinsi baru hasil pemekaran Papua, sehingga batas persyaratan usia dinaikkan. Keputusan menaikkan usia tersebut menjadi salah satu bukti perjuangan afirmasi untuk mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua.
Jejak Gerakan Provokatif Petisi Rakyat Papua Dibawah Jefry Wenda
Terhitung sejak munculnya aksi penolakan kebijakan DOB Papua pada 10 Mei 2022 lalu, nama Jefry Wenda mencuat sebagai sosok yang paling aktif muncul memberikan pernyataan. Ia bahkan sempat mengklaim bahwa aksi dilakukan serentak di berbagai titik dan wilayah, mirip dengan modusnya saat ini yang mengklaim dilaksanakan serentak di beberapa kota besar di Indonesia. Namun pada saat pelaksanaan, ia justru tidak terlihat bersama dengan massa aksi. Hal tersebut pernah terjadi saat aksi unjuk rasa penolakan DOB dan Otsus yang digelar 8 April 2022 sebelumnya.
Jefry Wenda justru ditemukan oleh pihak kepolisian bersama dengan 5 anggota KNPB dan 1 anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang berada dalam satu rumah. Keenam orang tersebut yakni: Ones Suhuniap (Juru Bicara KNPB), Omikson Balingga, Iman Kogoya, Marten Manggaprow, (aktivis KNPB), Abi Douw (anggota AMP) dan seorang perempuan bernama Neli Itlay.
Untuk diketahui bahwa KNPB merupakan salah satu organisasi yang hingga kini terus berjuang memisahkan Papua dari Indonesia. Termasuk juga AMP yang condong ke arah dukungan pro kemerdekaan Papua. Penangkapan terhadap 6 orang tersebut berkaitan dengan permintaan keterangan sebagai saksi terhadap Jefry Wenda. Jefry Wenda dianggap sebagai dalang dari seruan dan ajakan yang bersifat provokatif terkait demonstrasi penolakan DOB dan Otsus Jilid II.
Penangkapan terhadap Jefry Wenda menambah daftar panjang fakta deretan keterkaitan pihak penyelenggara aksi dengan kelompok tertentu. Lagi-lagi, KNPB seperti tak pernah absen, ditambah dengan kehadiran AMP yang mewakili kalangan mahasiswa. Keduanya secara terang-terangan berseberangan dengan pemerintah serta memiliki agenda perjuangan kemerdekaan Papua. Dalam kasus seperti di wilayah Papua, kepentingan pihak-pihak tertentu terbukti telah menyusup bahkan menunggangi niat aksi, bahkan bisa dikatakan by design untuk kepentingan golongannya.
Hal yang sama juga dikuatkan oleh Kapolresta Jayapura Kota, AKBP Victor Dean Mackbon yang merespon terkait demonstrasi penolakan DOB oleh PRP tanggal 3 Juni 2022 lalu. Bahwa aksi tersebut telah disusupi isu referendum, ditunggangi Kelompok Nasional Papua Barat (KNPB). Pasalnya, dalam aksi tersebut tak hanya membicarakan DOB, namun juga tentang referendum. Hal yang sama juga terjadi di aksi 14 Juli lalu, dimana Isu referendum kembali tercantum dalam tuntutan.
Dorongan Kelompok Separatis Melalui Jefry Wenda untuk Tolak DOB
Adanya gembar-gembor penolakan pemekaran wilayah, jika dikaji secara ilmu politik terkandung maksud dari pihak yang berusaha merawat eksistensi isu tersebut untuk mewujudkan keinginannya. Pengamat politik Universitas Al Azhar Jakarta, Sunardi Panjaitan pernah menyatakan bahwa kebijakan DOB menjawab kebutuhan masyarakat dan pemerataan pembangunan di Papua. Kemudian, DOB juga dapat meningkatkan mutu pendidikan masyarakat Papua.
Konsekuensi pemekaran wilayah berdampak pada penambahan Struktur, infrastruktur, dan sumber daya manusia di berbagai bidang sebagai penggerak pemerintahan dan ekonomi provinsi tersebut, termasuk dalam hal ini juga penambahan aparat dan markas militer di tiga wilayah baru. Hal tersebut berdampak pada semakin sempitnya ruang gerak kelompok separatis. Gerakan menolak DOB bisa jadi merupakan siasat Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk menghindari militer makin kuat di Papua, termasuk melalui pernyataan Jefry Wonda.
Sehingga ajakan untuk mengikuti aksi 29 Juli 2022 secara tak langsung adalah upaya untuk turut mendukung gerakan kelompok separatis Papua yang telah bertindak kejam terhadap masyarakat Papua sendiri. Waspadalah!
__
Agus Kosek
(Pemerhati Masalah Papua)