manokwaripos.com – Meminjam kalimat yang pernah menjadi judul dalam sebuah karya tulis berwujud buku dari seorang pengajar di Sekolah Tinggi Agama Kristen Nabire Papua, Melianus Kotouki. Sebuah kelompok seni yang menamakan diri Komunitas Nogei Deiyai merilis sebuah lagu berjudul “Pemekaran yang Dipaksakan” melalui channel media Youtube Studio Wagadei Deiyai. Lagu yang berdurasi sekitar tiga menit tersebut dinyanyikan oleh Rilliy Mote sekaligus bertindak sebagai pencipta lagu dan panata suara.
Lagu bertemakan kritik yang diproduksi di Studio Wagadey milik komunitas Nogei Deiyai seperti menjadi angin segar bagi kelompok Petisi Rakyat Papua (PRP), dimana dalam beberapa bulan terakhir terus bermanuver untuk mempengaruhi publik agar turut berdiri dalam posisi menolak kebijakan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua yang saat ini terus dikaji persiapannya setelah sebelumnya ditandatangani Undang-undangnya oleh Presiden Joko Widodo.
Kemunculan lagu bertema kritik menjadi hal lumrah dalam negara demokrasi. Namun jika muatan dalam karya tersebut tak sesuai dengan kondisi dan kenyataan serta justru menjadi media hasutan akan berdampak pada hal lain yang harus diwaspadai. Terlebih, karya lagu yang muncul dari sebuah komunitas musik di Nabire ini menjadi komoditas bagi PRP untuk dipublikasi kembali menjadi “amunisi baru” sebagai upaya mempengaruhi publik di Papua khususnya, serta masyarakat daring secara lebih luas.
Lagu yang Tak Relevan dengan Harapan Masyarakat Papua
Selain kehandalan composer dalam meramu nada menjadi sebuah karya lagu, peran lirik selalu memiliki pesan bagi setiap pencipta kepada para pendengarnya. Dalam lirik lagu Pemekaran yang Dipaksakan terdapat sejumlah kejanggalan isi lirik mengarah pada pemikiran subjektif dengan sudut pandang pihak yang menolak kebijakan pemerintah untuk memajukan dan membangun tanah Papua. Memang, subjektivitas bukan hal yang dilarang dalam karya seni, namun jika muatan pesan didalamnya terkandung hal-hal yang tak sesuai dengan kenyataan justru menjadi sebuah fitnah atau tuduhan yang mengarah pada tindakan yang tak bisa dibenarkan.
Lirik lagu bernuansa Rhytm and Blues tersebut termuat kalimat di awal sekaligus sebagai bagian reffrein yakni: “Pemekaran yang dipaksakan, Hanya demi mengemis harta dan mencuri kekayaan”, kemudian diikuti dengan kalimat berikutnya “Perbedaan ras slalu mengingatkan kita bahwa kami adalah pemilik tanah ini, dan kalian bukan siapapun di negeri kami”. Telaah dari kalimat diawal akan menimbulkan pertanyaan karena tidak dijelaskan perihal mengapa dipaksakan, mengapa mengemis harta, dan mencuri kekayaan. Meski dapat bersifat multitafsir, namun yang menjadi top mind dari publik lebih merujuk kepada konotasi negatif terhadap kebijakan pemekaran sendiri. Mungkin hal tersebut yang sengaja diharapkan dari pencipta lagu agar semakin menguatkan publik bahwa pemekaran memang bersifat demikian. Sebenarnya, telah berulang kali dijelaskan bahwa kebijakan pemekaran merupakan upaya pemerintah pusat, termasuk merespon keinginan tokoh masyarakat Papua yang sejak lama menginginkan adanya pecah provinsi dalam rangka solusi penyelesaian permasalahan jarak, pembangunan, kesejahteraan, hingga percepatan kemajuan di bumi cenderawasih.
Lalu merambah pada kalimat kedua, yakni “perbedaan ras mengingatkan bahwa kami sebagai pemilik tanah dan kalian bukan siapapun”. Oke, Kita paham bahwa secara ras masyarakat Papua berbeda dengan orang Indonesia secara umum, Papua tergolong melanesia. Namun bukan berarti hal tersebut menjadi penghalang atau jarak karena Papua adalah juga bagian dari Indonesia secara sah. Mirisnya, kalimat tersebut juga tersirat dan terkandung sudut pandang pihak yang ingin menentukan kebijakan hingga nasib sendiri menganggap pemerintah Indonesia bukan siapa-siapa dan tak berhak apa-apa. Jargon ini kerap kali diucapkan oleh kelompok Separatis yang memiliki misi panjang untuk lepas dari bumi pertiwi Indonesia.
Berbicara mengenai kelompok separatis, terdapat pula pesan yang ingin disampaikan dalam lagu tersebut yang telah dikemas melalui format video klip menampilkan visualisasi Rilliy Mote yang sedang bernyanyi dengan latar belakang keindahan alam pegunungan papua dengan sesekali diselipkan footage video pemberitaan sejumlah media nasional terkait kebijakan pemekaran dari sudut pandang framing negatif.
Tampilan Rilliy Mote memang menggambarkan orang asli Papua dengan wajah dan kulit khas Melanesia, ditambah style rambut keriting dan gimbal yang menjadi simbol perlawanan Papua. Selain itu terdapat aksesori penggunaan tas selempang yang didepannya terdapat jahitan bordir berbentuk bendera bintang kejora serta tulisan nama Rilliy dibawahnya. Secara tersirat bisa dimaknai bahwa sang penyanyi sedang memperjuangkan penolakan kebijakan pemekaran serta mendukung Papua untuk lepas dari Indonesia dan berdiri sebagai negara sendiri.
Sayangnya, sang penyanyi tersebut lupa bahwa tujuan pemekaran provinsi tak seperti yang dituliskan di kalimat awal lagu tersebut. Bahkan keresahan sang penyanyi di kalimat akhir lagu tersebut yang berbunyi: “Oh Tuhan, kapankah alam papua yang indah terpesona dan penuh misteri ini dipimpin oleh anak negerinya sendiri,” menjadi tujuan sekaligus jawaban dari keresahan lagu tersebut terhadap kebijakan pemekaran yang sebenarnya bertolak belakang dengan kalimat tersebut.
Kebijakan pemekaran yang selama ini ditakutkan oleh kelompok separatis, kelompok aktivis seperti Petisi Rakyat Papua, dan beberapa afiliasinya termasuk dari kelompok seni pembuat lagu ini sangat bertolak belakang dengan isi dari rencana dan kebijakan yang akan dan tengah diterapkan terhadap masyarakat Papua.
Melalui pemekaran provinsi, pemerintah pusat akan mengutamakan sumber daya manusia dari Orang Asli Papua (OAP) untuk membangun daerahnya, termasuk dalam hal jabatan gubernur dan beberapa jabatan strategis lainnya yang akan diisi oleh putra-putri terbaik dari tanah Papua. Hal tersebut jelas menjawab bait terakhir dari kalimat di lagu tersebut dimana nantinya wilayah pemekaran akan dipimpin oleh anak negerinya sendiri.
Waspada Terhadap Manuver Kelompok Petisi Rakyat Papua
Semakin kesini, publik harus paham bahwa dalam kebijakan pemekaran masih terdapat kelompok yang bermanuver seperti PRP berafiliasi dengan kelompok separatis untuk mempengaruhi agar turut menolak segala kebijakan pemerintah. Baginya, setiap kebijakan yang dilaksanakan pemerintah selalu memiliki kepentingan tertentu yang berdampak pada masyarakat Papua. Kecurigaan tersebut tak berdasar dan justru hanya kedok dari upaya tuntutan lepas dari Indonesia melalui referendum dengan menunggangi isu sejumlah kebijakan termasuk pemekaran provinsi.
Pada akhirnya, wajib menjadi pengetahuan bersama bahwa pembentukan DOB di Papua merupakan upaya membangun secara Indonesia-sentris dengan mengurangi gap pelayanan dari pemerintah ke masyarakat, yang mana di Papua masih sangat besar. Upaya mengatasi kesenjangan di Papua harus dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah dan seluruh elemen bangsa, terutama para tokoh masyarakat demi kesejahteraan seluruh masyarakat Papua.
__
Agus Kosek
(Pemerhati Masalah Papua)