manokwaripos.com – Gempita perayaan ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang dirayakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, ternyata menyisakan sejumlah keprihatinan bagi sebagian pihak. Sejumlah pengungsi dari beberapa distrik di Kabupaten Maybrat Papua Barat mengeluhkan minimnya bantuan, sementara anak-anak mereka mulai menghadapi kelaparan dan menghadapi ancaman putus sekolah.
Keluh kesah tersebut disuarakan para pengungsi di tengah perayaan HUT RI dan jelang satu tahun pasca ribuan pengungsi meninggalkan tempat tinggal setelah terjadinya konflik bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) dan TNI/Polri. Menurutnya, hingga saat ini pihak OPM masih bersikeras untuk melakukan perang terbuka terhadap TNI/ Polri. Sementara pemerintah Indonesia sejauh ini, masih mengerahkan aparat untuk memerangi TPNPB-OPM, serta melakukan pendekatan kesejahteraan bagi warga Papua.
Kekerasan Kelompok Separatis Berdampak pada Warga Sipil Papua
Sebuah penelitian dari akademisi Universitas Cenderawasih Papua, La Mochtar Unu membuahkan beberapa poin eksplanasi berkaitan dengan dampak atas adanya aksi kekerasan yang kerap dilakukan oleh Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua atau juga disebut sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Dalam penelitian tersebut terdiskripsikan bahwa kelompok separatis meski mengaku berjuang untuk kemerdekaan masyarakat Papua, namun masyarakat sipil adalah pihak yang paling dirugikan. Ketika mereka beraksi, mereka juga meneror warga masyrakat, dari satu kampung ke kampung lain, meminta makan, meminta uang. Jika tidak dilayani akan berakhit dengan tindakan penyerangan atau bahkan penembakan.
Masyarakat juga seolah mati di tengah-tengah layaknya pelanduk, karena serba salah dalam beraktivitas. Ketika mereka masuk hutan, untuk mencari kayu atau membuka ladang, aktivitasnya berpotensi dicurigai oleh TPN-OPM. Mereka bisa dianggap sebagai mata-mata tentara. Sementara sebaliknya, di mata TNI/Polri, mereka juga bisa dicurigai sebagai anggota TPN-OPM.
Terdapat sejumlah cara untuk melindungi masyarakat sipil, tetapi tidak mudah diterapkan. La Mochtar menyebutkan sejumlah alternatif, seperti relokasi warga ke daerah aman dan dialog damai. Terdapat kemungkinan juga bahwa warga yang bukan orang asli Papua (OAP) sebaiknya agar tidak beraktivitas di daerah rawan konflik, karena tidak ada yang menjamin keamanannya.
Dari data yang dikumpulkan periode Januari hingga Juni 2022, terdapat 45 serangan yang menyebabkan korban, 26 warga sipil meninggal dan 26 terluka. Sementara tujuh prajurit TNI meninggal dunia dan dua belas terluka, serta satu anggota Polisi meninggal dan dua terluka. Dari pihak kelompok separatis, setidaknya terdapat tiga korban meninggal.
Warga Sipil Banyak Berjatuhan Akibat Konflik Kelompok Separatis
Masih dalam hasil kajian penelitian, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Wahyu Wagiman menyebut bahwa meskipun terjadi pendekatan penanganan terhadap masalah Papua, namun konflik masih terjadi dan korban kekerasan terus berjatuhan, sebagian besar menimpa masyarakat sipil.
Di tengah konflik bersenjata, dalam skala global, berlaku hukum humaniter internasional atau Konvensi Jenewa dan sejenisnya yang diterapkan. Namun dalam kasus Papua, aturan hukum internasional sulit diterapkan untuk menjamin keselamatan masyarakat sipil. Pasalnya, haknya pemerintah Indonesia yang menjadi pihak dalam Konvensi Jenewa 1949, sementara kelompok OPM tidak diakui. Apa yang terjadi di Papua itu mungkin lebih dekat dan dianggap sebagai situasi ketegangan dalam negeri yang menimbulkan kekacauan dan ketegangan secara terus-menerus
Karena perangkat hukum internasional tidak dapat diterapkan dalam kasus Papua, maka hanya ada perangkat hukum nasional yang bisa dipakai. Karena itulah, perlindungan masyarakat sipil dalam konflik bersenjata Papua, didasarkan pada UUD 1945, di mana negara harus melindungi segenap warganya. Termasuk di dalamnya, adalah berbagai undang-undang lain yang terkait seperti UU Hak Asasi Manusia.
Pemberian Rasa Aman Terhadap Masyarakat Sipil
Salah satu tokoh agama dari KPKC Sinode GKI di Tanah Papua, Magdalena Kafiar mengatakan bahwa upaya menciptakan keamanan di Papua tidak boleh mengesampingkan keamanan untuk masyarakat sipil. Harus dilihat bukan hanya faktor utama pengamanan saja, tetapi bagaimana keamanan itu juga menjamin masyarakat yang tinggal di tempat tersebut. Jangan sampai karena fokus ke pengamanan, kemudian tidak melihat hal tersebut.
Koalisi Kemanusiaan Kasus Maybrat mengharapkan solidaritas dan dukungan masyarakat luas untuk mendesak pemerintah pusat agar segera melakukan jeda kemanusiaan di wilayah Kabupaten Maybrat, agar pengungsi dapat kembali ke kampung halamannya dan menjalani kehidupan mereka seperti semula.
Kemudian, mendesak negara menjamin dan memenuhi hak-hak dasar para pengungsi di bidang kesehatan, pendidikan, ketersediaan pangan dan hidup tanpa rasa takut. Selain itu, mereka mendorong adanya dialog antara pemerintah dan wakil rakyat Papua yang mampu menciptakan perdamaian yang permanen di Tanah Papua.
Sementara itu, Asisten Bidang Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat Papua, Muhammad Musa’ad, mengajak generasi milenial bersatu dalam mengisi kemerdekaan Indonesia. Musa’ad menyatakan perbedaan di antara berbagai suku bangsa di Indonesia bukan merupakan alasan untuk tidak bersatu. Suatu negara kuat jika masyarakatnya bersatu. Sebab, perbedaan itu merupakan kodrat dan tidak bisa dihindari. Perbedaan seharusnya menjadi kekuatan harmoni yang baik, untuk bersama-sama mengambil bagian dalam pembangunan di Indonesia, khususnya Papua.
__
Agus Kosek
(Pemerhati Masalah Papua)