manokwaripos.com – Sejumlah nada sumbang muncul pasca kegiatan kunjungan kerja Presiden Jokowi ke Papua beberapa waktu lalu. Mereka dengan lantang menyebut bahwa kunjungan tersebut tak bermakna, tak memiliki subtansi dan dampak. Seseorang yang menyebut dirinya antropolog dan peneliti Papua menyatakan bahwa kunjungan Presiden Jokowi ke Papua disebut sebagai ‘mercusuar’ dan ‘selebrasi’ yang tidak memiliki makna dalam menyelesaikan akar permasalahan kemanusiaan yang terjadi di Papua.
Kunjungan yang dilakukan selama 2 hari berkaitan dengan bidang sosial hingga pemuda dan keolahragaan, juga mendapat sorotan dari sang pendeta politik, Socratez Yoman. Menurutnya, kunjungan Jokowi tidak memiliki substansi dan dampak dalam menyelesaikan akar persoalan di Papua. Sementara itu peneliti Papua dan Universitas Papua, I Ngurah Suryawan menilai pola pendekatan yang dilakukan Presiden Jokowi di Papua menggunakan gaya “mercusuar dan selebrasi”, yang ditunjukkan dengan pembangunan fisik, seperti infrastruktur, konektivitas, dan zona kawasan eksklusif. Di sisi lain, Presiden Jokowi disebut mengesampingkan persoalan utama yang dihadapi dan dibutuhkan orang Papua, yaitu ancaman hidup akibat kekerasan yang terus menerus antara aparat keamanan dengan kelompok gerakan kemerdekaan. Menurutnya, yang harus dilakukan presiden adalah hadir di tengah-tengah permasalahan untuk menunjukkan komitmen pemerintah, membangun kepercayaan orang Papua, dan mengakui harkat serta martabat orang Papua sebagai manusia.
Kritikan juga diberikan oleh peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas yang menilai bahwa kunjungan Presiden Jokowi hanyalah selebrasi semata. Di tengah konflik berkepanjangan, pengungsian, dan kelaparan. Kunjungan beliau di Peluncuran Papua Football Academy dan rangkaian lainnya menjadi tidak ada maknanya. Menurutnya, sepakola hingga BLT bukan persoalan substantif yang dibutuhkan orang Papua. Seharusnya Presiden ke daerah-daerah pengungsian, ke tempat kelaparan, dan titik-titik konflik yang menjadi masalah.
Sejumlah kritikan yang mengarah ke sentimen negatif tersebut meski berasal dari para tokoh yang berasal dari institusi atau kelompok tertentu, namun dapat dipastikan bahwa opini atau penilaian yang beredar berasal dari pandangannya secara pribadi. Masyarakat diharapkan agar mampu melihat secara kritis sehingga tidak kemudian mengkaitkan keterlibatan kampus tertentu, lingkungan gereja, atau bahkan instansi pemerintah tertentu dalam penilaian tersebut.
Mengkaji Makna Kunjungan Ke-15 Presiden Jokowi di Papua
Dalam tataran kehidupan bernegara, setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemangku jabatan selalu terkandung makna, tujuan, hingga harapan yang ingin diwujudkan. Secara konteks, sejak awal perhatian Presiden terhadap suatu daerah khususnya terkait wilayah Papua berbeda dengan para pendahulunya. Terhitung sudah 15 kali sang Presiden berkunjung ke wilayah paling timur di Indonesia untuk memastikan geliat percepatan pembangunan melalui sejumlah kebijakan yang tengah dicanangkan.
Setiap orang memiliki hak untuk bersuara, bisa jadi latar belakang penilaian ‘selebrasi’ dan ‘tak bermakna’ dalam kunjungan Presiden ke Jayapura dan Timika beberapa hari lalu memiliki konteks dan muatan tertentu. Entah sebuah kritik membangun atau evaluasi dari kerja pemerintah. Namun, terdapat satu hal yang mungkin terlupa atau sengaja dilupakan oleh para tokoh yang memberikan penilaian hingga ‘’ndakik-ndakik’’ tersebut. Adanya sensifitas publik di Papua yang berbanding lurus dengan pilihan diksi yang muncul. Bisa jadi, penilaian tersebut akan membuat pemerintah berbenah, namun di sisi lain perlu juga diperhatikan potensi dampak negatif yang mungkin akan muncul, terutama di akar rumput. Tak ada yang menginginkan kondisi di bumi cenderawasih jauh dari predikat damai, sebagaimana kondisi tanah yang diberkati Tuhan dengan limpahan sumber daya alam. Tak ada pihak manapun yang menginginkan kasus-kasus kekacauan terjadi kembali di tanah Papua, kecuali bagi yang memiliki kepentingan tertentu.
Penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM yang dimulai dari wilayah Indonesia Timur jelas bukan tidak memiliki makna. Penyerahan BLT BBM dilakukan agar daya beli masyarakat lebih baik, khususnya di wilayah timur terkait akselerasi kemajuan dan kesejahteraan. Staf Khusus Menteri Sosial, Faozan Amar menyatakan bahwa bantuan sosial (bansos) diberikan pemerintah untuk membantu menekan pengeluaran masyarakat. Hal tersebut sekalius menekan isu adanya kenaikan harga BBM per bulan September.
Sementara itu, berkaitan dengan peluncuran Papua Football Academy (PFA) yang dianggap tidak bermakna, tentu harus dilihat dari sudut pandang secara lebih luas. Selain permasalahan infrastruktur hingga masalah sosial lainnya, Presiden Jokowi berusaha memberikan perhatian khusus terhadap pembinaan talenta sepak bola dari tanah Papua. Papua dan sepak bola ibarat dua kutub yang tidak bisa dipisahkan. Kenyataannya selama ini banyak bintang sepak bola Nasional yang lahir dari tanah Papua. Seluruh rakyat Indonesia berharap talenta-talenta Papua terbina dengan baik, bukan hanya pada skill bermain sepak bola tetapi juga sikap dan integritasnya.
Kemudian, saat kunjungan ke Timika, Presiden Jokowi beserta rombongan berkunjung ke PT Freeport Indonesia (PTFI) yang berada di Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua. Dalam kesempatan tersebut, Presiden meluncurkan teknologi 5G Mining di PTFI yang merupakan hasil Kerjasama antara PTFI dan Telkomsel sekaligus menjadi yang pertama di Asia Tenggara. Dalam pidatonya, Presiden menekankan pentingnya intervensi teknologi untuk memajukan sektor pertambangan di Indonesia, yang umumnya berada di daerah terpencil dan sulit terjangkau serta tantangan geografis dan konektivitas yang tidak mudah. Penerapan teknologi 5G Mining mendukung otomatisasi dan kendali jarak jauh sekaligus meningkatkan keselamatan kerja dan produktivitas PT Freeport Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, Presiden juga bangga karena teknologi mutakhir tersebut 99% diawaki oleh sumber daya manusia dalam negeri, khususnya Papua. Dirinya optimis bahwa PTFI akan terus dapat menghasilkan SDM-SDM di bidang pertambangan yang berkualitas di dunia dan berkontribusi besar bagi kemajuan industri pertambangan Indonesia.
Perlunya Sejumlah Pendekatan dalam Penyelesaian Permasalahan Papua
Apapun yang dilakukan oleh pemerintah terhadap wilayah dan masyarakat Papua pasti akan direspon sebagai hal yang salah, khususnya di mata oposisi. Sang pendeta politik, Socratez Yoman menyoroti persoalan kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, termasuk adanya kelaparan dan pengungsian. Pada akhirnya yang dirinya tuju adalah permintaan penyelesaian masalah Papua melalui pintu dialog antara pemerintah pusat dengan orang asli Papua. Modus seperti ini telah berulang terjadi dan terbaca polanya. Adanya penolakan terhadap kebijakan Otsus dan pemekaran DOB oleh sejumlah organisasi seperti Petisi Rakyat Papua (PRP) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) selalu menyelipkan tuntutan referendum. Bisa jadi permintaan dialog dari Socratez Yoman hanyalah prolog menuju tuntutan pelepasan Papua.
Maka pada akhirnya, membahas permasalahan Papua perlu dilihat secara lebih lebar melalui berbagai konteks dan sudut pandang. Keputusan Presiden untuk datang ke Papua ataupun hanya mewakilkan menterinya jelas memiliki makna dan kepentingan. Pro dan kontra adalah konsekuensi bagi negara demokrasi. Tinggal kita sikapi secara kritis dan bijak. Membangun suatu wilayah khususnya di tanah Papua dengan kondisi permasalahan separatis yang masih bergejolak memerlukan sejumlah pendekatan yang adaptif dan tidak berujung kontraproduktif. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak menerima Judicial review UU Otsus Papua setelah sebelumnya diajukan Majelis Rakyat Papua (MRP) semakin melegitimasi kebijakan pemerintah untuk mengakselerasi kemajuan Papua yang harus didukung oleh seluruh pihak tanpa terkecuali.
___
Agus Kosek
(Pemerhati Masalah Papua)